Akhirnya hari Minggu yang kutunggu juga tiba. Kak Ilham mengajakku keluar, kami berkeliling-keliling saja menikmati langit sore. Aku memesan segelas cappucino saat Kak Ilham pergi ke toilet.
Cafe sore itu cukup ramai. Aku menikmati setiap senti pemandangan indah yang disuguhkan. Orang itu lama sekali datangnya, padahal hanya pergi ke toilet saja. Aku melirik jam tangan, sudah lima belas menit dia belum juga kembali. Sangking bosannya aku menghitung mobil berwarna hitam yang lewat. Sibuk menyibukkan diri aku tak sengaja melihat orang yang begitu kukenali. Ia berjalan kemari bersama seorang perempuan.
Lonceng berdenting, pertanda ada orang yang masuk. Aku yang berada di sudut cafe itu berusaha tak terus meliriknya. Namun, nihil tetap saja pandangan refleks mencuri pandang.
Lelaki itu tersenyum kepada perempuan yang mempunyai tubuh semampai itu. Terlihat cocok, huft ... kenapa aku jadi kepanasan begini. Kusesap cappucino-ku lebih banyak. Mata tak henti menatap kedua manusia itu, hingga Nugi tak sengaja melihatku. Tatapan kami bersirobok, aku lebih dulu mengalihkan pandangan. Tersedak cappucino yang kucoba minum, atmosfer seolah menipis di sini. Aku mencari tissue di tas pinggangku. Mencoba tak memperhatikan orang itu.
Aku mengelap noda cappucino yang tumpah sedikit di baju, berusaha menetralkan irama jantung. Tiba-tiba saja seseorang mendekat. Ya, dia Kak Ilham dengan bersetelan jas. Dengan dua orang yang satunya memetik gitar dan satunya membawa bunga. Aku bergeming, jangan bilang dia akan ...
Napasku seolah terhenti, begitu banyak menerima keterkejutan sore itu. Aku berdiri, mencoba mencerna situasi.
“Nad, saya merasa enggak tenang kalau tidak menyatakannya sekarang.” Lelaki itu tersenyum.
Harusnya ia tahu jawabannya, lalu mengapa mengulang pertanyaan yang sama berkali-kali? Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Orang-orang yang ada di sana memperhatikan kami. Aku merasa bersalah akan hal ini, merasa bersalah karena sama sekali tak bisa membalasnya.
Ia berlutut, iring-iringannya menyanyikan lagu-lagu romantis. Aku berusaha menyuruhnya berdiri. “Kak, berdiri Kak.”
Dia tetap keukeh pada pendiriannya, aku menggaruk kepala pelan, sedikit frustrasi dengan situasi ini. Sorak-sorai manusia yang ada di sana pun membuatku semakin stress.
“Nad, saya enggak tahu kapan rasa ini tumbuh, yang saya tahu dia tumbuh bersama hari-hari yang kita lewati. Saya bahagia melihat kamu bahagia, saya bersedih melihat kamu bersedih. Sesederhana itu, Nad.” Ia tetap memancarkan senyumnya. Mataku mulai berkaca-kaca, aku merasa jadi makhluk paling jahat di sini. Membiarkan orang sebaik Kak Ilham jatuh cinta sendirian.
“Jujur saya enggak pandai berkata-kata.” Ia terkekeh. “Intinya, mau kah kamu menikah denganku?” Kak Ilham mengeluarkan sebuah cincin cantik berhias permata di tengahnya.
Satu air mataku menetes, aku berusaha tersenyum. Lalu memeluknya. Begitu kuat, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
“Jawabanku tetap sama, Kak. Maaf,” busikku. Aku memeluknya makin erat. Ia mengelus pundakku, berusaha menenangkan padahal dirinya sendiri hancur. Ia berusaha tetap tersenyum.
Ia melepas peluk duluan, menghapus air mata yang terjatuh ke pipi.
“Enggak apa-apa, jangan nangis.” Tangisanku semakin keras. Pecah. Kenapa aku bisa setega itu padanya?
Aku takut akan ada penyesalan kali ini. Aku begitu takut.
Tak sengaja mataku melihat ke arah pintu, di sana sudah ada lelaki yang keluar dengan membanting pintu dan perempuan yang bersamanya tadi mengejar. Pikiranku kalut, aku tidak mengerti mengapa bisa sesulit ini. Mengapa hati malah menjatuhkan perasaannya pada orang yang mungkin tak akan tergapai? Aku sama sekali tidak tahu jawabannya.
***
Tak ada yang membuka suara sejak tadi, ia sibuk menyetir dan aku sibuk bergelut dengan pikiranku. Semua begitu abu-abu, di kota yang kemerlip lampunya indah itu untuk pertama kalinya terlihat sangat suram. Rintik hujan mengenai kaca mobil membuat suasana hatiku makin kalut. Mungkin setelah ini hubungan kami tak akan sama lagi, membayangkan itu membuatku tak sanggup. Memangnya kenapa jika hanya begini saja? Saling menyayangi tanpa ada ikatan. Sekali lagi aku takut.
Akhirnya kami sampai di depan rumah, rumah yang baru sebulan lalu keluargaku tempati. Ya kami pindah. Ia membukakan pintu mobil, senyumnya tetap sama. Namun, matanya tak bisa berbohong. Aku meringis dalam hati melihatnya.
“Masuk gih, nanti saya dikira bawa kabur anak gadis orang.” Ia terkekeh.
Aku memaksakan senyum, berusaha terlihat tak apa-apa. Ragaku ada di sini, tapi pikiranku sama sekali tak ada di tempat. Terbagi dua, memikirkan keadaan Kak Ilham setelah ini dan memikirkan apakah Nugi masih memikirkanku walau ia sudah punya pasangan. Pikirannya yang cukup gila bagi seorang Nada.
“Hati-hati ya.” Dia mengangguk. Aku masuk ke rumah. Sama sekali tak meliriknya, aku takut semakin tak bisa menerima bahwa mungkin esok lelaki itu akan hilang dari peredaran hari-hariku.
Dengan tampang lusuh aku memasuk rumah, di sana semua sudah menyambut dengan tampang yang entahlah aku juga tak mengerti mengapa mereka terlihat antusias sekali.
“Sini duduk dulu.” Bang Dicky bersemangat sekali menuntunku ke meja makan yang sudah penuh dengan makanan enak. Apakah ada perayaan? Tak biasanya Ibu memasak sebanyak ini. Mereka pun ikut duduk, dengan wajah yang bertanya.
“Umh, kamu enggak ada mau cerita sesuatu gitu?” tanya Ibu yang terasa membingungkan.
Aku mengernyit, tak mengerti. “Maksudnya?”
Ibu memutar bola matanya. “Tentang sesuatu yang istimewa.” Dia greget menghadapiku.
Aku memasang tampang yang sama sekali tak mengerti ke mana arah pembicaraan mereka.
“Tentang lamaran Kak Ilham,” jawab Jaka tanpa basa-basi, ia mengambil sepotong paha ayam sepertinya sudah bosan dengan pembicaraan ini dan ingin segera makan.
Aku menunduk. Menghela napas lelah. “Kutolak.”
“Apa?!” Mereka serempak berteriak. Aku terkejut, memangnya ada yang salah?
“Kok ditolak sih, Nad?” tanya Bang Dicky.
Aku menghela napas sekali lagi, kepalaku sudah berdenyut tak keruan. Pusing memikirkan banyak hal. “Udah ya, aku capek.” Aku beranjak meninggalkan meja makan yang penuh kekecewaan itu.
Langsung memasuki kamar dan menutup pintu. Aku terduduk, mengacak-acak rambut. Sangat kacau. Dadaku sesak, aku memukul-mukulnya. Mengapa harus jadi begini? Satu per satu air mataku terjatuh, dua orang yang berarti di hidupku itu kini menghilang dari jangkauan.
Aku menangis dalam diam, sesak rasanya. Sunyi seolah menertawakanku, membiarkanku dirongrong perih. Aku merasa menjadi penipu, menipu diri sendiri terlihat seolah-olah tak menginginkan mereka ada—Kak Ilham dan Nugi. Aku tahu, Kak Ilham tak akan pernah sembuh dari luka itu, terhitung saat tiga tahun lalu ia kutolak sebanyak delapan belas kali. Sebanyak itu dan ia tidak menyerah. Tadi saat di cafe, aku menyuruhnya untuk benar-benar berhenti. Aku tak tahu apakah nanti akan menyesal, aku hanya tak ingin lelaki itu terluka lebih dalam. Membuatnya tumbuh tidak sempurna, aku hanya akan jadi penghambat kebahagiaannya dengan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenada
Teen Fiction[Revisi] [15+] Seseorang yang kuanggap baik, belum tentu baik untukku. Seseorang yang aku anggap buruk, padahal dia baik untukku .... Haruskah hati serapuh ini? Jika memang dia tidak menyukaiku, kenapa waktu itu dia melemparkan bunga? Atau hanya...