Jatuh mungkin sakit, tapi menyerah bak pecundang akan lebih perih lagi.
~Serenada cinta (15)
-----------------------------------------------------
Dengan sekuat tenaga aku berusaha menahan air mataku agar tak menitik lagi. Sudah cukup hari ini. Aku melangkah pasti, keluar dari ruangan dan berusaha seceria mungkin. Aku berpapasan tepat di depan aula dengan Nugi. Sepertinya dia hobi sekali membuatku kaget.
"Hai." Dia menampilkan senyum semringah. Sepertinya mood-nya sangat bagus hari ini. Sampai-sampai siapa pun yang lewat ia sapa. Aku memutar bola mata malas, dasar orang aneh.
Aku berlalu melewatinya. Sekarang aku harus bertemu dengan sahabat-sahabatku. Pasti mereka sudah menunggu sedari tadi.
Aku menemukan mereka berdua di taman depan sekolah tepatnya di depan lapangan basket, sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu.
"Hei, hayo pada ngomongin apa?" Aku menghampiri mereka berdua lalu duduk di tengah-tengahnya.
"Duh, lama banget sih. Perasaan dari tadi orang-orang udah pada keluar." Mila menyodorkan botol air mineral ke arahku.
"Makasih." Kusambar cepat botol itu lalu meminum isinya hingga setengah. Energiku terkuras selepas menangis.
"Eh, tadi kok si Sonya natapnya sinis banget ya sama kita. Kayaknya dia enggak suka deh karena Nada yang kepilih, bukan dia," celoteh Mila terlihat risi.
"Kayaknya sirik deh sama kamu, Nad!" tambah Aisyah.
"Jangan ghibah, nggak baik." Mereka berdua cemberut, tapi memilih diam.
"Iya, kamu dari mana aja sih?" tanya Aisyah sejurus kemudian.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Sikapku yang gelagapan mengundang tatapan heran dari mereka berdua. Sepertinya aku tak berbakat untuk berbohong.
"Anu ... itu." Aku tidak tahu harus menjawab apa, di tengah kebingunganku tiba-tiba Nugi datang dari arah belakang.
"Tadi ngobrol sama aku," ucapnya enteng, lalu duduk tepat dihadapanku.
"Iya." Terpaksa aku membenarkannya.
"Sejak kapan kalian akrab?" Aisyah menautkan kedua alisnya membentuk garis lurus.
"Emangnya napa?" Wajah menantang Nugi membuat nyali mereka berdua ciut. Terlihat jelas dari gelagak mereka yang terlihat tak tenang.
"He-he-he, nggak apa-apa. Ya udah kita pergi dulu. Ada PR yang belum dikerjain." Mila nyengir kuda sembari menarik tangan Aisyah.
"PR apaan? Perasaan nggak ada...." Mila menyikut lengan Aisyah, membuat gadis itu meringis pelan. "Eh iya, lupa. Ternyata, ada."
Mereka berdua langsung berlalu, aku hanya tersenyum geli melihat tingkah kedua sahabatku itu. Tadinya aku ingin ikut dengan mereka, tapi kuurungkan. Takut-takut nanti mereka mengintrogasiku lagi, sedangkan saat ini aku belum bisa cerita.
"Makasih," ucapku tulus, tapi masih dengan tampang sok cuek.
"Buat apaan?" Wajah datarnya kini ia tampakkan.
"Tadi udah bantu jawab." Entah kenapa aku kesal sendiri berbicara dengannya.
"Oh ... tapi nggak gratis lho." Aku menautkan alisku. "Kamu berutang penjelasan. Kenapa tadi nangis di aula?" Nada suara Nugi memelan, lebih tepatnya mirip berbisik.
"Dih, sotoy. Siapa yang nangis?" Aku bersedekap dada, menepis tuduhannya.
"Kamulah, kalau ada masalah cerita aja. Tadi aku liat kamu nangis di dalam aula, sendirian lagi."
"Tadi, cu-cuma kelilipan kok." Aku menjawabnya dengan gugup.
"Beneran?" Mata Nugi yang memelas meminta penjelasan seperti anak kucing kelaparan. Sejenak aku terenyuh seperti terhipnotis.
Tidak! Apa-apaan tadi. Tetap jaga jarak dengannya, Nada.
"Benerlah." Aku memalingkan pandanganku, tak mau menatapnya lebih lama lagi.
"Oke, kalau ada apa-apa bilang ya." Dia berlalu pergi. Meninggalkan aku yang kini mencoba menjernihkan pikiran.
🌟🌟🌟
Aku merebahkan tubuh letih ini ke atas tempat tidur, mengempaskannya dengan tak bersemangat. Aku menatap nyalang balkon yang berada tepat di atas kepala. Semua kejadian tadi siang di sekolah terus berputar bak menghantui tak ingin membiarkanku hidup tenang.
Nada meremehkan itu terus terngiang tak tahu waktu. Mataku kembali memanas, mengakibatkan terbentuknya bendungan kecil di pelupuk mata yang membuat pandangan mengabur. Ada rasa perih yang menyusup diam-diam, seolah tak membiarkanku menepis rasa sakit itu. Sangat sakit hingga membuat sesak.
Aku meraih bantal berbentuk Spongebob warna kuning. Membenamkan wajah dalam-dalam sembari menahan isak. Aku sudah berusaha menulikan pendengaran saat mendengarkan percakapan singkat penuh duri itu, tapi tetap saja rasa sakit mengontaminasi semua rasa yang kurasakan.
Aku tak ingin terlarut, tapi tak jua bisa melupakan. Semua itu sudah terukir, membekas diingatan. Yang harus kulakukan hanyalah berusaha untuk menjadi yang terbaik. Lupakan sejenak rasa suka yang menjadi dalang dari jejak perjuanganku. Kali ini aku harus membuktikannya dan membulatkan tekad karena memang dari hati tanpa dorongan modus yang selama ini tertanam di hati. Jangan bilang ini ambisi, aku hanya ingin membuktikan bahwa aku layak dan mampu bersaing secara sehat. Meski ke depannya tak akan mudah, tapi akan kucoba menapak dengan kaki sendiri. Masa bodoh dengan hasil akhir, biarlah itu menjadi urusan belakang. Termasuk perasaanku pada Bagas.
Aku beranjak dari posisi tidur. Menghapus jejak-jejak air asin yang ada di pipi. Aku berusaha memompa semangat, mengulum senyum juga harus dilakukan. Aku menyambar tas, meraih buku yang sempat kujejalkan masuk ke dalamnya, tentu itu buku pinjaman dari perpustakaan. Menatap buku itu lekat-lekat seolah aku akan menaklukkannya, jika aku tak bisa menaklukkan Bagas dengan modus receh yang sering dilancarkan cewek-cewek di sekolah, maka akan kutaklukkan dia dengan otak. Aku tersenyum miring.
"Ini mungkin tidak mudah, tapi bukan Nada namanya jika menyerah begitu saja," monologku penuh keyakinan.
Aku bergegas ke arah, meja belajar. Membuka halaman demi halaman yang akan kusantap pelan-pelan. Jatuh mungkin sakit, tapi menyerah bak pecundang akan lebih perih lagi.
[Keep Smile😊]
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenada
Teen Fiction[Revisi] [15+] Seseorang yang kuanggap baik, belum tentu baik untukku. Seseorang yang aku anggap buruk, padahal dia baik untukku .... Haruskah hati serapuh ini? Jika memang dia tidak menyukaiku, kenapa waktu itu dia melemparkan bunga? Atau hanya...