22. Aku Butuh Kalian

29 9 4
                                    

Cuma kalian yang mengerti diriku.

~Serenada cinta (22)

----------------------------------------------------

Aku duduk di depan meja rias, menatap diri dengan mengerutkan dahi. Kulihat wajah dengan teliti.

Ah, sial! Kantung mataku bengkak karena semalam suntuk menangis, ditambah mata panda yang semakin menghitam karena insomnia. Aku tampak kacau.

Aku berdecak sebal sembari mengembuskan napas pelan. Mataku melirik bedak yang sudah lama tergeletak dengan sedikit berdebu tempatnya. Aku sudah lupa kapan terakhir kali memakainya. Tanganku menyambarnya segera dan langsung menyapu setiap bagian wajah dengan bedak itu. Kupertebal di bagian bawah mata berharap mata panda itu sedikit tersamar dan agar aku tak terlihat seperti manusia tanpa semangat hidup.

Aku berdiri dari duduk, memperhatikan dandananku yang hanya memakai kaos polos berwarna putih tulang dan rok biru langit selutut. Tidak buruk menurutku. Daripada dandananku tadi pagi yang terlihat sangat menyedihkan. Luka itu masih ada, tapi tak melulu harus dipikirkan. Mulai saat ini aku harus memikirkan hal apalagi yang harus kuperjuangkan kedepannya. Hmm ... apa ya?

Aku tersentak keluar dari lorong pikiran yang sedang keselami membuatku mengelus-elus dada karena kaget. Ketukan berkali-kali yang terdengar tak sabaran terus menghujam pintu kayu yang menjadi jalan masuk ke kamarku, jendela untuk kabur tak masuk hitungan.

"Sebentar," teriakku sembari merapikan rambut dan penampilan. Aku menyeret kaki dan membuka pintu dengan pelan.

Gubrak!

Aku terlonjak kaget sontak menghindar ke arah kiri untuk menghindari sesuatu menimpa badanku. Kulihat mereka yang kini jatuh terjerembab dengan badan saling menindih satu sama lain. Mereka merintih, aku malah tergelak.

"Makanya jadi orang yang sabaran dong!" umpatku tersenyum puas.

"Aduh, kamu yang buka pintu nggak ngasih aba-aba," celetuk Mila yang memegangi pundaknya yang jatuh ke lantai duluan.

"Ha-ha-ha, kalian kenapa sih heboh banget?" Aku membantu Aisyah untuk berdiri. Mila dan Rena sudah lebih dulu berdiri.

"Kita nungguin kamu di sekolah tahu. Kita pengin nyambut sang juara kita, yeay," sorak Aisyah heboh sendiri.

"Iya, kok nggak dateng ke sekolah sih? Padahal Bagas tadi nyariin kamu." Mila menyenggol lenganku bermaksud menggoda.

Aku mengerucutkan bibirku, berjalan dengan dihentak-hentakkan menghujam lantai, lalu duduk di tepi tempat tidur sembari bersedekap dada.

"Jangan bahas dia. Aku lagi nggak mood." Aku mengatur napas, menahan sesak karena kesal. Aku bukannya marah apalagi benci, aku hanya ingin melupakan semua ini segera. Berharap tak pernah terjadi.

"Kenapa? Harusnya kamu senang dong!" ucap Rena sembari duduk di samping kananku.

"Aku mau move on!" Aku menyembunyikan wajahku di balik kedua telapak tangan.

"Bukannya kamu selalu yakin bakal bisa milikin Bagas," tanya Mila penuh telusuk. Ia duduk di sebelah kiriku, sedangkan Aisyah duduk di belakang dan memeluk tubuhku dari belakang. Seolah mentransfer energinya untukku sebelum mulai bercerita.

Huft, tidak boleh ada tangis lagi. Batinku sudah lelah.

Aku menatap mereka bergantian. Mau tak mau aku harus bercerita, namun tidak dengan air mata.

"Kemarin aku nembak Bagas."

"Hah?!" Mereka sangat kompak terkejutnya. Membuatku sontak menutup telingaku.

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang