24. Tembak?

34 9 2
                                    

Cinta kadang datang tanpa disadari. Hingga kita bimbang untuk menjatuhkan rasa itu.

~Serenada cinta (24)

-----------------------------------------------------

Hari-hari berikutnya aku menjadi lebih akrab dengan Nugi. Sahabat-sahabatku juga mendukung selama aku senang dan tak sedih lagi. Bukan berarti aku melupakan segalanya, hanya saja aku tidak ingin melihat mereka terus mengkhawatirkanku. Meskipun, tiap malam tangis masih menyisip disetiap gelap malamku. Apalagi jika hujan mendera bumi, seolah hujan membawa kenangan yang tak pernah lelah untuk terus kembali. Mati-matian aku menghindari Bagas selama seminggu ini. Dan sekarang dia berdiri di depan perpustakaan. Ah ... sial!

Kulihat dia berbincang-bincang dengan seorang temannya. Aku bersembunyi di balik rak buku. Menggigiti ujung jari dengan gusar.

Ah, kenapa mereka lama sekali perginya?

Aku melirik jam tangan yang melilit di lengan. Sebentar lagi jam istirahat usai. Aku harus segera kembali ke kelas. Bisa gawat kalau aku telat masuk kelas, bisa-bisa Pak Karim murka.

Aku menyandarkan tubuh ke rak buku menutupi wajah dengan buku. Satu-satunya yang harus kulakukan hanyalah menunggu. Aku benar-benar frustrasi.

Oh, Tuhan ... kirimkan malaikat penyelamat untukku.

Tetiba terdengar suara siulan beriringan dengan derap langkah yang kian mendekat. Hatiku mencelos, jangan-jangan itu Bagas. Mati aku!

Aku memejamkan mata, memeluk buku dengan erat. Ralat, sangat erat. Gemuruh di dada semakin berdentum dengan rusuhnya. Tubuhku mengeluarkan keringat dingin tatkala langkah kaki itu berhenti tepat di depanku. Napasku memburu seperti manusia yang kehilangan oksigen. Sesak.

"Kamu ngapain?" Aku mengintip sedikit. Aku terbelalak dan mengerjap-erjap memastikan objek yang sedang ada di hadapanku. Aku tidak salah lihatkan? Aku terperangah dan sangat bersyukur.

"Kayaknya otak kamu hang gara-gara belajar mulu deh!" cercanya penuh ejekan.

"Ish ... enak aja. Kelas yuk!" Aku menarik tangan Nugi dengan paksa. Dia hanya membiarkanku dan terkesan pasrah.

Aku melewati Bagas dan temannya dengan santai. Padahal, hati berusaha keras untuk menahan sesaknya. Ingin rasanya aku segera lulus dari sekolah ini. Masa setiap hari aku kucing-kucingan dengan Bagas. Jujur aku malu mengingat hal konyol yang kulakukan di depan Bagas waktu itu.

Aku sudah sampai di depan kelas. Aku berusaha mengatur napas. Tenang.

"Cie, betah banget megangin tanganku." Nugi menahan tawanya.

"Apaan sih!" Aku menghentakkan tangannya dengan kasar. Menyembunyikan malu yang bercokol di dada.

"Kalau butuh pegangan, aku selalu siap kok." Dia berbisik di telingaku, membuat hatiku berdebar tak keruan dan ditambah lagi wajahku terasa panas. Ada apa ini?

Dia ingin berlalu pergi. Membuat keningku mengerut sempurna.

Aku mendengus pasrah. "Bolos lagi?"

"Menurutmu?" Dia berhenti dan menoleh.

"Udah mau semester penaikan kelas lho. Kamu mau nggak naik kelas?" bujukku.

"Khawatir banget sih sama aku. Kamu aja yang belajar serius, biar bisa wujudin cita-cita kamu!"

"Dibilangin malah ngeyel. Itu demi kebaikan kamu." Aku mendengus kesal sembari bersedekap dada.

"Malas ah, nanti Pak Karim marah mulu sama aku. Daripada ganggu proses belajar, aku keluar aja. Toh, ujung-ujungnya nanti aku dikeluarin juga." Dia berjalan menjauh membelakangiku.

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang