18. Dia Menjauh

35 8 4
                                    

Memendam sendirian rasa sakit itu menyesakkan. Jika suatu saat tak bisa lagi terpendam, maka tangislah yang akan tumpah membasuh perih di hati.

~Serenada cinta (18)

------------------------------------------------------

Setelah percakapannya dengan Fanda kala itu. Bagas menjauh, seperti menghindari. Aku tidak tahu apa yang dibicarakan olehnya dan Fanda. Dia sangat dingin terhadapku, tidak seperti hari sebelumnya. Contohnya saja saat kemarin. Suasana kantin dipenuhi hiruk pikuk siswa-siswa kelaparan menyebabkan tak ada bangku yang kosong. Aku melihatnya celingak-celinguk bersama beberapa teman lelakinya. Lalu, aku mengambil inisiatif. Memanggilnya untuk menawarkan apa dia mau duduk di kursi ini bersamaku dan kedua sahabatku. Tatapan kami sempat bertemu, lalu dia berlalu pergi meninggalkan kantin. Aku berusaha berpikir positif, barangkali ia tak dengar. Tetapi, pagi ini. Aku yakin dia menghindariku. Saat aku menyapanya di parkiran dengan senyuman setelah mengumpul beberapa sampah, dia malah hanya menatap heran dan berlalu pergi. Seolah-olah dia jijik melihatku seperti sampah yang berserakan akibat ulah siswa tak sadar kebersihan.

Dadaku serasa sesak, apa itu artinya dia menyuruhku berhenti. Berhenti mengharapkan dan mendambakan dia. Setetes air mata berhasil lolos dengan mudahnya, cepat-cepat kuhapus sebelum ada yang melihat.

"Kamu kenapa, Nad?" Aisyah memelukku dari belakang.

"Iya, dari pagi kamu murung dan malah menyendiri di taman belakang sekolah. Kalau penghuni taman gangguin kamu gimana!" ucap Mila terlihat kesal karena sejak jam istirahat tadi aku sudah menghilang dari hadapan mereka.

"Ish ... Mila. Jangan ngomong gitu dong!" seru Aisyah menatap dengan penuh kekesalan. Jika aku sedang tak bersedih, mungkin Aisyah akan menjitak kepala Mila.

"Iya, maaf." Aisyah memutar bola matanya malas.

"Kamu kalau ada masalah cerita dong, Nad. Percuma kamu punya sahabat tapi nggak mau berbagi sakit yang kaurasa," lirih Aisyah kini menangkup wajahku dengan kedua telapak tangan lembutnya.
Air mataku tumpah ruah. Tak bisa lagi menahan sesak yang semakin menjalari rongga dada. Melumpuhkan semua pertahananku agar terlihat tegar seperti hari-hari sebelumnya. Semuanya begitu sakit untuk kusimpan sendiri. Angin yang berembus lembut menyapa kulit seolah bergaduh menambah gerumuh sakit yang ada di dada.

"Emangnya jatuh cinta rasanya sesakit ini. Apakah semua ini hanya obsesi? sehingga apa pun aku lakukan untuk mendapatkan sedikit ruang di hatinya?" Aku mendekap tubuh Aisyah, memeluknya erat untuk berbagi sedikit rasa sakit. Elusan penuh kasih menyapu pundak seolah berusaha memberiku kekuatan lebih, Mila mengelus pundakku sangat lembut.

"Keluarin semua sakit yang kamu rasain. Jangan sungkan untuk menangis hanya karena kamu tidak ingin dicap sebagai gadis cengeng," lirih Mila.

Air mataku semakin deras, rasa hangat yang mereka berikan seolah berkata kamu tak sendiri. Jika kalian selalu ada untukku, haruskah aku menyembunyikan semua luka di dalam tumpukan kapas?

Mungkin ini waktunya untuk berbagi keluh kesah, Nada? Tak seharusnya kamu menyimpan sendiri luka itu, membiarkannya menganga hingga kamu sudah tidak bisa menahan rasa sakit sendiri.

Aku merenggangkan pelukan, menarik tubuh agar duduk seperti posisi awal. Rasanya lega setelah menumpahkan segala emosi yang sedari kemarin menyumbat pernapasan yang membuat sesak. Mereka menatapku penuh empati, sangat tulus.

"Kalian masih ingat waktu Pak Karim ngumpulin anak olimpiade di aula?" Aku mulai bercerita, tapi air mata seperti tak ingin berhenti menetes.

"Iya, inget. Waktu kamu keluarnya lama banget," ucap Mila antusias.

Aku menarik napas, mencoba menguatkan diri. "Waktu itu, aku denger percakapan Bagas dan Fanda. Mereka kesal karena aku yang terpilih, kenapa bukan Sonya yang jelas-jelas berada di kelas XI IPA 1. Jujur rasanya sakit saat kita diragukan."

"Sialan tuh si Fanda sama Bagas, harus diberi pelajaran." Tangan Mila terkepal kuat.

"Nggak usah, Mil. Aku nggak mau kamu keseret ke ruang BK." Tanganku menggenggam tangannya.

"Aku yakin kamu bisa ngalahin mereka, Nad. Lupain dulu rasa sakit itu." Aisyah mengelus pundakku.

"Iya, Ais. Tapi, sulit!" Aisyah dan Mila bersamaan memelukku.

"Kamu pasti bisa. Kita akan bantu," ucap mereka berdua.

"Iya deh, aku percaya." Aku mengulum senyum. Mereka berdua kembali ke posisinya masing-masing.

"Gitu dong," seru Mila.

"Bener cuma itu yang buat kamu sedih?" tanya Aisyah terlihat tak puas.

Aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Berusaha mengisi paru-paru dengan udara bersih yang tersuguh gratis.

"Waktu aku pengin pergi ke perpus sendirian. Aku nggak sengaja nabrak Bagas, itu sehari setelah aku denger percakapan Bagas dengan Fanda." Aku menerawang jauh, mengingat hari di mana aku berbuat konyol. "Awalnya aku ragu dan masih sakit hati sama dia, makanya aku nolak ajakan buat ke perpus bareng sama dia dan aku malah pergi ke toilet.

Mereka sangat antusias mendengar curhatanku dengan tetap bergeming menungguku melanjutkan kalimat.

"Di toilet aku merenung. Aku putuskan untuk ngajak Bagas ke perpus dan tadinya saat di perpustakaan aku mau nembak Bagas."

"APA?!" teriak mereka bersamaan. Sontak saja aku menutup telinga.

"Kamu udah kehilangan akal ya, Nad. Bisa-bisanya kamu mau nembak cowok! Gengsi dong, Nad," sembur Mila. Hidungnya kembang kempis karena marah.

"Ta ... tapi, nggak jadi kok," ucapku terbata.

"Kok bisa?" tanya Aisyah penasaran. Sedangkan, Mila terlihat lega mengetahuinya.

Ish ... bodo amat soal gengsi. Daripada hati yang tersiksa, lagian sekarang 'kan zamannya emansipasi perempuan. Makan tuh gengsi!

"Gara-gara Fanda, dia manggil-manggil Bagas dan bicara berdua sama dia. Sejak hari itu, aku ngerasa Bagas ngehindar dan ngejauhin aku deh." Aku mengembuskan napas lesuh.

"Sabar, Nad. Jodoh nggak bakal kemana, tapi saingan dimana-mana." Mila tertawa lebar dengan ucapannya sendiri.

Aku mencebik kesal. Itu menghibur atau menghina sih.

"Kayaknya Fanda nggak suka kalau Bagas deket sama kamu deh?" ucap Aisyah.

Aku hanya mengangguk kecil, kemudian berpikir sesuatu. Aku tidak perlu cerita deh, tentang Nugi yang ada di perpustakaan kala itu. Biarlah itu kusimpan sendiri.

Ish ... kenapa sekarang aku memikirkan Nugi. Nggak penting banget sih.

[Keep Smile😊]

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang