Ia rewel sekali seperti bayi, mentang-mentang sakit. Aku harus menurutinya yang ingin berjalan-jalan di taman rumah sakit. Menemaninya menghirup udara segar.
“Tipe pacar kamu gimana?”
“Hah?” Aku melongo. Mungkin aku salah dengar, kenapa pula pertanyaannya aneh sekali. Pengin tahu saja.
“Budeg ya?” Suara galaknya keluar. Aku memutar bola mata malas.
“Kepo!” Kudorong kembali kursi rodanya. Lututnya kini diperban agar tak banyak melakukan gerakan.
Dia bergumam. “Apa yang kayak Lee Min Joo?”
Aku mengernyit. Itu siapa? “Enggak kenal.” Aku menjawab dengan ogah-ogahan. Koridor rumah sakit tempat rawat inap sepi kala itu. Hanya ada beberapa perawat yang lalu lalang dan beberapa dokter yang mengecek keadaan pasiennya. Aku menerawang jauh, suatu saat nanti tempatku di sini, menyaksikan bayi-bayi lucu lahir untuk pertama kalinya.
“Seriusan enggak tahu?”
Aku menggeleng. Orang ini sungguh cerewet sekali. Perlu tenaga ekstra untuk mendorong kursi rodanya melewati rerumputan dan bebatuan taman yang tentu saja tak semulus lantai porselen.
“Berarti tipe kamu kayak aku, 'kan?” Ia menolehkan kepalanya padaku, sembari menaik-turunkan alisnya yang malah terlihat menyebalkan. Ucapannya itu entah kenapa membuatku jadi tersipu malu. Tidak biasanya dia begitu.
“Enggak!” jawabku ketus. Ia malah makin menggodaku dengan mencolek-colek lenganku.
“Ngaku aja! Enggak usah malu-malu kucing deh.”
Aku yang mulai risi lantas memukul lengannya, membalas dengan menggelitik pinggangnya karena orang ini benar-benar menyebalkan. Orang-orang yang ada di taman memperhatikan kami, tetapi mungkin karena pada dasarnya kami orang yang cukup tak tahu malu malah semakin menjadi-jadi. Ia berusaha keras menjalankan kursi rodanya sendiri agar terhindar dari gelitikanku. Tak tinggal diam aku mengejarnya. Namun, entah terganjal batu atau apa kursi roda itu kehilangan keseimbangan dan membuat Kak Ilham tersungkur di tanah. Ia mengaduh kesakitan, memegangi lututnya yang memang sudah sakit.
Aku yang panik lantas menghampirinya, membuatnya duduk terlebih dahulu. “Nakal sih!” Refleks kutepuk lututnya yang sakit itu.
“Akkkhh, sakit tau Nad!” Aku menutup mulut menyadari kebodohanku. Lalu mulai membantunya naik ke kursi roda kembali.
***
Dokter kembali memeriksa lututnya. Dokter yang jarang tersenyum itu lalu menggeleng. “Istirahat total ya kalau mau sembuh. Ligamennya kembali robek, biar cepat sembuh jangan banyak pergerakan.” Setelah mengatakan itu sang dokter lalu keluar.
Aku perlahan-lahan berbalik, ingin meninggalkan ruangan daripada manusia itu menyalahkanku.
“Eits mau ke mana?” Ia menarik bajuku. Aku menoleh sembari tersenyum terpaksa.
“Enggak ke mana-mana kok.” Aku kembali duduk di kursi tunggu pasien.
“Mau gimana pun itu sebagian kesalahan kamu ya, Nad!”
“Tapi—“ Belum sempat aku berbicara sudah ia potong. Wajahku memelas.
“Enggak ada tapi-tapi. Hukumannya kamu harus rawat saya sampai sembuh.” Aku mengembuskan napas pasrah. Malas berdebat dengan orang ini. Lebih baik mengalah saja sama dia daripada harus berdebat panjang.
“Iya.” Aku mengeluarkan ponsel. Mulai membuka grup messenger yang berisi aku dan kedua sahabatku.
[Mil, mangga di rumahmu berbuah ya?] Ketik Aisyah di grup itu. Aku tersenyum, ingatan langsung berkelana saat kami masih SMP sama sekali tak takut memanjat pohon setinggi itu. Nekad sekali demi sebuah mangga.
[Iya nih, ke sini aja kalau mau mah. Jan manja minta diambilkan!] Mila membalas.
Aku mulai mengetik. [Bagi dong!]
[Nad ... Kapan pulang woy] Mila membalas dengan tiga emoticon menangis menyertainya.
[Tahun depan mungkin. Kangen banget sama kalian] Kutambahkan emoticon sedih.
Aku terkekeh, percakapan itu terus berlanjut.
“Hsst, Nad!” Ternyata Kak Ilham sedari tadi memanggilku. Namun, aku terlalu asyik berbalas pesan. Hingga tak menyadari bahwa ini bukan di rumah.
“Kenapa?” Aku yang merasa terganggu menjawab dengan galak. Masih kesal dengan orang ini.
“Dari tadi dipanggilin, asik bener! Saya haus,” protesnya.
“Terus?” Ada nada mengejek di sana. Aku bersedekap. Membuat wajah menyebalkan.
“Ya ambilin dong cantik.”
Hampir saja aku tersenyum saat dia bilang cantik, entah itu pujian atau dia merasa geram. Aku mengembuskan napas. Berjalan ke arah kulkas mini yang ada di kamar itu. Mengambilkan sebotol air mineral. Aku menyodorkannya dan langsung diraih olehnya.
“Makasih.” Ia mengembalikan botolnya padaku ketika sudah meminum beberapa tegukan. Aku memutar bola mata malas menerimanya lalu kuletakkan di nakas samping tempat tidurnya. Padahal ia bisa letakkan sendiri.
Tepat setelah aku meletakkan botol itu, Bang Dicky membuka pintu dengan menenteng dua kantong plastik di tangannya. Dengan inisiatif sendiri aku membantu membawa kantong plastik itu yang ternyata berisi baju Kak Ilham, dan kantung plastik yang satunya lagi berisi tiga kotak bubur ayam serta camilan roti hijau kesukaanku. Jam memang sudah masuk jam makan siang. Aku meletakkan bubur di atas meja kecil yang tersedia di sana. Menghidangkannya untuk dua orang lelaki itu. Lalu mulai menyantap punyaku.
“Gimana Bro kakinya?” tanya Bang Dicky ketika baru saja memulai suapan pertamanya.
“Udah mendingan, tenang aja. Gue 'kan kuat!” Aku memasang tampang mengejek, padahal lututnya itu semakin parah.
***
Aku sudah sampai di rumah, pulang bersama Bang Dicky sore tadi. Besok aku harus ke kampus, lalu setelah itu menjenguk Kak Ilham lagi. Bang Dicky menyuruhku untuk segera istirahat. Setelah kulihat jam di ponsel, ternyata baru jam delapan malam. Ada satu hal yang mengganjal di hatiku, ingin memastikan bahwa orang yang memukuli Kak Ilham bukan dia. Kubuka akun media sosial, mencari namanya, tetap saja ia tak pernah lagi aktif di sana. Sudah hampir seminggu. Tak habis akal aku menghubungi Amal, barangkali cowok itu memiliki kontaknya.
Nada sambung berdering. Aku menunggu orang di ujung sana mengangkat ponselnya. “Hallo?”
“Ya, ada apaan, Nad?”
“Punya nomor handphone-nya Nugi enggak?” tanyaku.
“Punya nih, tapi enggak tau masih aktif apa tidak.” Ada nada ragu yang kutangkap dari caranya bicara.
Aku mengembuskan napas. “Kirim ya, Mal.”
Ia hanya bergumam, lalu kuputus telpon secara sepihak. Setelah beberapa menit ada SMS dari Amal berisi nomor orang yang kabarnya entah bagaimana sekarang. Menghilang sudah beberapa hari ini.
Tanpa pertimbangan langsung saja kupanggil nomor itu. Namun, sama sekali tak diangkat. Aku tak menyerah, memanggilnya untuk kedua kalinya, tetapi hasilnya sama. Sama sekali tak ada jawaban. Apa ia lagi tidak ingin bicara? Aku memanggil nomor itu untuk ketiga kalinya. Akhirnya diangkat juga.
“Halo?”
Aku mengernyit mendengar suara itu. Sama sekali bukan suara Nugi, melainkan suara perempuan. Aku tak merespons, semua pertanyaan yang tadinya ingin kulontarkan tertelan kembali bersama dengan keterkejutan.
“Halo?” sapa orang itu kembali, aku mematikan sambungan. Bukan dia orang yang ingin kutemani bicara atau mendengar suaranya. Apa mungkin itu pacarnya Nugi? Pantas kalau begitu chat terakhir bilang jangan mencarinya lagi. Mungkin ini jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenada
Teen Fiction[Revisi] [15+] Seseorang yang kuanggap baik, belum tentu baik untukku. Seseorang yang aku anggap buruk, padahal dia baik untukku .... Haruskah hati serapuh ini? Jika memang dia tidak menyukaiku, kenapa waktu itu dia melemparkan bunga? Atau hanya...