II| 17

1 1 0
                                    

Pagi-pagi sekali ada yang rusuh mengetuk pintu, padahal ini baru pukul enam pagi. Mila yang ada di sampingku menggeliat. Pelan-pelan membuka mata, sedangkan mataku hanya bisa terbuka sedikit. Sangat bengkak dan merah. Hidung kini juga malah mampet, sungguh pagi yang sempurna. Aku menggoyangkan pelan bahu Mila. Perempuan ini kebonya sebelas dua belas denganku.

“Mil, buka pintu gih.” Aku mengucek-ngucek mataku.

“Duh, siapa sih ganggu pagi-pagi!” Mila menyingkap kasar selimut. Berjalan lunglai menuju pintu. Tepat saat ia membuka pintu di sana sudah ada Aisyah yang berteriak heboh.

“Guys, info yang kalian kasih beneran? Seriusan si anak badung itu mau nikah?” Aisyah langsung duduk di sampingku.

“Ya iyalah, kalau enggak ya enggak mungkin temen lo tuh udah kayak apaan aja mukanya nangis mulu meratapi jodoh orang.” Mila duduk di kursi tempat riasku. Aku cemberut, mataku sungguh tidak bisa lagi dibuka lebar. Aku berusaha untuk bangkit, tissue berserakan di lantai sebelah kanan.

“Ya ampun, sabar ya Sayang.” Aisyah mengusap-usap puncak kepalaku. Kini kepalaku seperti di hujam logam yang cukup berat. Berdenyut-denyut tak keruan.

“Jadi sekarang gimana?” Aisyah berkedip dua kali. Aku kehilangan suara, malas sekali untuk berbicara kalau seperti ini.

“Tetep jalankan misi lah, Ais.” Mila memainkan alisnya. Aku mengernyit, misi apa yang mereka maksud?

“Kalian ngomongin apa sih?” suaraku terdengar serak. Aku menatap mereka bergantian. Aisyah dan Mila hanya membalas dengan senyuman yang sulit diartikan. Wah, sepertinya ada yang tidak beres nih.

***

Ternyata ini yang mereka rencanakan, mereka menculikku untuk ikut ke suatu tempat. Kak Ilham mengantar kami, aku merasa tidak enak lagi dengan lelaki itu. Ini semua gara-gara Mila dan Aisyah, sampai saat ini pun aku tidak tahu rencananya dan di jok belakang mereka sibuk sekali untuk diskusi. Menyebalkan.

“Sebenarnya ini mau ke mana sih?” Aku mulai kesal. Mila melirikku dengan tatapan garang karena pasalnya ini sudah yang entah keberapa kalinya. .

“Udah deh, Nad. Ikut aja, entar kami kasih tau kamu malah enggak mau,” timpal Aisyah. Ia kembali berkutat dengan ponselnya. Aku menghela napas malas, sebenarnya sangat malas diajak keluar. Rasanya ingin kembali menangis saja seharian di kamar, aku benar-benar patah hati seperti gadis yang baru mengenal cinta. Padahal cinta adalah nama belakangku.

Kami berhenti di depan sebuah butik. Mau ngapain mereka ke sini? Dengan rusuhnya Aisyah dan Mila langsung keluar dari mobil.

Aku melongokkan kepala dari jendela mobil. “Aku di mobil aja ya, kalian aja yang masuk.”

Mila berdecak, lalu membuka pintu mobil. Menarikku dari sana, ia menggandeng tanganku dengan ceria. “Nad, cara balas dendam paling ampuh dengan mantan adalah dengan cara terlihat baik-baik saja dan makin cantik. Kali ini kamu harus nurut sama kita.”

“Betul,” timpal Aisyah.

Mereka menyeretku. Aku kehabisan akal untuk menghentikan mereka. Kutengok ke belakang mencoba meminta pertolongan orang yang baru saja keluar dari mobil itu. Aku memelotot menyuruhnya menghentikan Mila dan Aisyah. Ia hanya mengendikkan bahu dan berjalan santai mengikuti kami. Dasar menyebalkan!

Sampai di sana Mila langsung senyum semringah, gaun dan kebaya di sana cantik-cantik. Seorang pramuniaga menghampiri kami, ia menyambut kami ramah. Lebih tepatnya karena ia kenal Mila.

“Mbak Mila mau fitting gaun pengantin ya?”

Mila menggeleng. “Ini lho Nin, sahabatku butuh baju ke acara pernikahan gitu. Pokoknya kasih yang cantik, menawan bahkan enggak ada duanya. Sepasang ya? Sama pasangannya tuh.” Mila menunjuk Kak Ilham yang ada di belakangku. Aku menautkan alis lalu menggeleng tak habis pikir. Ada-ada saja.

Aku membiarkan mereka berkeliling, jujur kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku memegang kepalaku. Kak Ilham menyentuh pundakku, seolah tahu aku sedang tidak baik-baik saja. Ia berusaha menopang tubuhku agar tidak linglung.

“Jangan terlalu sedih, Nad. Saya enggak mau kamu drop.” Ia berbisik. Rasa bersalah itu kembali muncul, saat-saat seperti ini masih sempatnya ia memperhatikanku. Sedangkan, aku adalah penghancur hatinya yang paling kejam.

Aku beranjak dari sana, tidak tahan dengan perasaan itu. Menghindar ke toilet, menyembunyikan diri di sana.

***

Setelah berlama-lama hanya berulang kali mencuci wajah akhirnya kuputuskan untuk keluar dari sana. Barang kali mereka sudah berkeliling-keliling ria dan ingin segera pulang. Saat sampai ke tempat mereka bercanda ria, Mila langsung mencegatku. Ia menarikku ke ruang ganti. Aku membelalakkan mata, mau apa lagi sih manusia ini?

“Mau ngapain sih, Mil?” Aku mengeluh. Merasa habis energi dibuat mereka.

“Dari tadi kita nungguin tau, nih pakai ini!” Dia menyodorkan sebuah kebaya berwarna navy padaku. Sangat cantik, tapi kenapa harus semewah ini? Kalau seperti ini sih sungguh berlebihan.

“Harus banget ya, Mil? Ini berlebihan banget, udah ah pulang aja.” Aku sudah akan pergi dari sana kalau saja Mila tak mencegatku kembali. Ia memasang wajah garang.

“Kalau kamu enggak nurut, aku paksa lho?” Mila kalau sudah berbicara tak pernah main-main. Bisa-bisa bajuku benar-benar dilucuti olehnya. Menyebalkan! Mengapa hari ini begitu tidak menyenangkan untukku?

“Ya udah deh, sana!” Aku mengusirnya secara paksa. Ia senyum-senyum tak jelas saat aku mau menuruti perkataannya. Harusnya perempuan itu segera menikah saja agar tak banyak waktu mengurusi hal tidak penting seperti ini.

Aku mulai memakai baju kebaya indah nan elegan itu, ada permata-permata berkilau di sana. Saat ingin menaikkan ritsleting-nya ternyata macet. Aku kesusahan dan takut kebaya cantik itu malah rusak kalau kupaksa.

“Mil,” panggilku. “Tolong naikin ritsleting-nya dong, macet nih.” Aku mendekat ke tirai yang tertutup itu.

Aku mengernyit, Mila lagi kerjain apa sih?

“Cepat dong, Mil!” Tangannya akhirnya menjulur dari balik tirai. Mencoba membantuku menaikkan ritsleting kebaya. Aku menyampaikan rambut ke sisi kiri, agar rambutku tak terjepit ritsleting. Akhirnya selesai juga.

“Makasih ya, Mil.” Aku merapikan kebaya itu. Lalu keluar dari tirai dan bercermin yang ada di depan ruang ganti itu. Aku tersenyum, cantik sekali!

Aku berjalan menuju ketiga orang yang sedang duduk santai itu. “Gimana?” Kuputar badanku agar keindahan kebaya itu terlihat secara menyeluruh. Mereka semua berdiri, termasuk kak Ilham. Mila berseru tidak jelas, Aisyah menutup mulutnya takjub. Sedangkan, Kak Ilham entahlah ekspresi apa yang ia tampilkan. Terkesima mungkin?

Mila berjalan ke arahku, loncat-loncat tidak jelas sembari menunjukkan matanya yang terpukau. “Seriusan ini sahabatku?”

“Ya ampun, Nad. Cocok banget di kamu!” seru Aisyah.

Aku cemberut, mereka terlalu berlebihan. Kutatap mereka bergantian. “Jadi, besok lusa pakai ini?”

Mila dan Aisyah mengangguk. Aku mengembuskan napas, apa aku akan kuat pergi ke pernikahan Nugi? Rasanya aku ingin tenggelam saja ke palung Mariana.

“Ya udah, ganti lagi yuk. Biar cepet pulang.” Aku menggandeng tangan Mila menuju ruang ganti.

“Kok nyeret aku, Nad?” tanya Mila.

“Bantuin narik ritsleting kayak tadi,” jelasku.

“Hah? Kayak tadi.” Wajah Mila terlihat tidak tahu-menahu.

“Bukannya tadi kamu bantuin aku buat naikin ritsleting?”

Mila menggeleng. “Dari tadi aku sama Aisyah fitting baju pengantinku.”

Aku mengernyit, lalu tadi siapa dong?

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang