Koridor padat, pergantian jam sudah terjadi sejak lima menit lalu. Aku mencari lab mikrobiologi ada di mana. Dengan orang-orang ini membuatku semakin kesusahan. Aku harus menerobos agar bisa mencari ruangan 3-14. Akhirnya ketemu, langsung saja aku masuk. Di sana sudah ada Amal, tadi aku habis dari toilet sehingga ketinggalan teman sekelas ya meski teman sekelas yang kutahu cuma Amal. Aku memakai jasku, tunggu! Bukankah itu ...
Kak Ilham!
Apa yang ia lakukan di sini? Aku menatapnya heran, ia sudah bermain dengan mikroskop. Entah meneliti apa. Ia kemudian beralih, menatap kumpulan mahasiswa yang baru saja masuk termasuk aku, tetapi ia sama sekali tak melirikku seperti orang yang tak kenal.
“Baik, berhubung Pak Anwar dosen mikrobiologi kita ada kepentingan, saya sebagai asisten dosennya akan mengambil alih kelas.”
Tanpa senyum dia melanjutkan penjelasannya. “Untuk hari ini kita tidak ada praktik di lab, tugas kalian Minggu ini adalah membuat makalah tentang pengenalan Mikrobiologi, kalian kumpulkan via e-mail. Ada pertanyaan?”
Seorang teman sekelasku mengangkat tangan, kalau tidak salah ingat namanya adalah Sisca.
“Deadline-nya kapan, Kak?” tanya dengan wajah polos dan berbinar.
“Kamu enggak nyimak tadi penuturan saya? Tadi saya kan bilang Minggu ini ya berarti deadline-nya Minggu ini.” Semua langsung terdiam dengan penuturannya yang pedas. Aku menggeleng tak percaya, bagaimana mungkin orang ini terlihat sangat berbeda saat kami hanya berdua saja. Heran.
“Ada pertanyaan lagi?”
Semua terdiam, mungkin takut disembur. Aku mengangkat tangan, semua orang menatapku tapi kuhiraukan. Apa yang mereka lihat?
“Terus kenapa kami dipanggil ke lab?” tanyaku mewakili. Ia mengernyit, lalu berdehem.
“Kan belum saya jelasin, yang kita bicarakan tadi mekanisme tugas Nada.”
Semua orang menatap heran ke arah Kak Ilham, orang itu keceplosan memanggil nama panggilanku. Ia berdehem kikuk, aku sudah hampir tertawa saat ini. Terasa sangat lucu.
Kumpulan cewek-cewek yang ada di belakangku berbisik-bisik, mungkin bertanya-tanya kenapa ia bisa kenal denganku padahal baru pertama kali masuk.
“Tujuan saya memanggil kalian ke lab adalah untuk belajar bagaimana tahap-tahap dalam mempersiapkan penelitian.” Ia bersedekap, mulai menelisik. “Kalian ada sekitar empat puluh orang ya?”
“Satu lagi sakit, Kak,” seru keti dari dalam kerumunan itu. Ia punya tubuh yang lumayan pendek untuk seukuran laki-laki. Namun, sifat bertanggung jawabnya dan kemampuannya untuk memimpin memutuskan satu kelas memilihnya untuk menjadi keti.
“Mana surat sakitnya?”
“Cuma menghubungi via telepon, Kak.”
Kak Ilham mengibas-ngibaskan tangannya. “Tidak diterima kalau enggak ada surat keterangan sakit jadi statusnya absen ya.”
“Oke, sekarang dibagi jadi dua kelompok. Absen nomor satu sampai sembilan belas bergabung ke sebelah kiri. Yang dua puluh sampai empat puluh kumpul di kanan.”
Ia mengatur kelompok satu secara berpasangan dengan sebuah mikroskop di hadapan, hanya aku satu-satunya yang tidak punya pasangan karena nomor presensiku adalah sembilan belas. Menyebalkan.
“Oke, di depan kalian ini adalah mikroskop. Ada yang tahu jenisnya?” tanyanya sembari berkeliling mengitari kami yang ada di depan mikroskop.
“Binokuler, Kak?” seru salah satu dari kami.
“Tepat sekali.”
Ia membetulkan jasnya. Berkacak pinggang lalu lanjut menjelaskan. “Sebelum memulai praktikum, kalian harus mengenal dua prinsip dulu, yaitu prinsip steril dan aseptis. Kalian bisa menggunakan metode autoclaving untuk sterilisasi.” Kak Ilham mendekat ke arah sebuah tabung yang aku pikir mirip dengan panci besar milik Ibuku. Apa itu autoclaf?
“Ini yang dinamakan alat autoklaf.” Semua fokus tertuju pada Kak Ilham. Kami memperhatikannya yang mulai membuka alat itu, ia mengeluarkan sesuatu yang menurutku lebih mirip keranjang buah.
“Ini namanya angsa. Kalian masukkan semua alat yang akan disterilisasi di sini.”
Ia lalu memasukkan semua alat-alat lab itu ke sana, lalu mengencangkan katup dan sekrup pengamannya. “Setelah itu kalian tinggal tekan tombol on atau off, terus putar hingga angka tiga puluh tunggu sampai tekanan nol koma satu. Tunggu lagi selama tiga puluh menit. Ini gampang kok, kalau kalian enggak paham kebangetan.”
***
Setelah dipusingkan dengan cara menggunakan autoklaf itu, kelas beralih menjadi belajar menggunakan mikroskop. Aku pernah melihat benda ini di ruangan lab sewaktu SMA, tapi cuma berakhir jadi pajangan karena Pak Karim melarang untuk menyentuhnya. Takut kami rusak katanya, toh benda itu pun bisa rusak karena debu.
Mereka saling mengajari, sedangkan aku kesusahan sendiri tak ada yang bertukar informasi apa yang ditangkap oleh otak masing-masing. Entah sejak kapan orang itu ada di sana, ia berdehem tepat di telinga.
“Kamu mau ngerusakin mikroskopnya? Itu mahal lho, Nad,” bisiknya di telinga, dia agak menjaga jarak agar tak ada yang curiga sedekat apa kami. Aku cemberut, hampir saja menyerah. Kenapa revolver-nya tidak mau bergeser?
Tanpa aba-aba lelaki itu sudah berada di belakangku, menuntun tanganku ke revolver dan memutarnya hingga terdengar bunyi klik. “Nah itu bunyi.”
Wajahku bersemu merah, detak jantungku meronta seolah-olah ingin keluar dari tempatnya. Ada apa ini? Aku sedikit bergeser untuk mensterilkan irama jantung, ini tidak baik!
“Ini belum selesai, Nad.” Ia menegurku saat sedikit menggeser tubuh. Aku membungkuk memposisikan mata ke lensa.
“Kamu tinggal ngatur cermin sama diafragma buat melihat kekuatan cahaya masuk, sampai dari lensa okuler tampak terang berbentuk bulat. Paham?” Aku mengangguk kikuk. Mata-mata itu diam-diam mencuri pandang ke arah kami. Membuatku makin malu rasanya.
Aku berusaha tetap fokus, kujepit daun pada preparat.“Tinggal atur fokusnya, terus putar revolver-nya buat memperbesar ya.”
“Iya, ini udah bener enggak?” tanyaku belum yakin dengan usahaku yang dibantunya.
“Mana?” Ia ikut menunduk di sampingku. Memajukan wajahnya ke arah mikroskop secara tiba-tiba sehingga wajah kami bersentuhan. Aku membelalakkan mata, terkejut. Refleks mundur dan menabrak meja yang ada di belakangku. Aku terduduk terdorong meja, alat-alat lab berjatuhan.
Beberapa detik kutunggu benda itu menimpaku, tetapi aku sama sekali tak merasakannya. Padahal bunyi berdenting benda-benda jatuh berbunyi. Mataku yang tadinya menutup refleks membuka. Di sana sudah ada Kak Ilham yang melindungiku. Wajah kami begitu dekat, membuatku sontak berdiri dan kepala kami kembali beradu. Astaga, ada apa denganku.
Kami mengaduh, aku hanya memegangi kepalaku yang terbentur tengkoraknya.
“Maaf, Kak. Izin ke toilet.” Aku berlari keluar lab. Sangat malu, ya ampun kenapa harus kejadian seperti ini.
Aku berlari tanpa memperhatikan sekitar hingga menabrak seseorang tepat di depan tangga, tubuhku oleng dan limbung. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku ditangkap.
“Hampir aja!” seru Kak Ilham. Aku hampir menggelinding jatuh ke tangga. Untung saja ada Kak Ilham.
“Kamu kenapa sih, Nad? Kurang sehat?” Aku menutup wajahku. Merasa kesal, geram entahlah!
“Kak Ilham ngapain sih tadi?”
Kak Ilham mengernyit, lalu menaik-turunkan alisnya. “Jadi kamu salah tingkah gara-gara saya?”
Aku melongo, lalu berlalu begitu saja. Menyebalkan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenada
Teen Fiction[Revisi] [15+] Seseorang yang kuanggap baik, belum tentu baik untukku. Seseorang yang aku anggap buruk, padahal dia baik untukku .... Haruskah hati serapuh ini? Jika memang dia tidak menyukaiku, kenapa waktu itu dia melemparkan bunga? Atau hanya...