9. Suka

47 12 4
                                    


“Perlakuan sekecil apapun kalau dilakukan sama orang yang disukai, pasti akan jadi sangat istimewa.”

~Serenada Cinta (09)





"Kamu-"

"Eh ada sepasang kekasih lagi berduaan. Sorry, ganggu saya cuma ngambil pulpen, 'kan sayang walau cuma seribuan tetap berharga." Setelah mengambil pulpen yang tergeletak di atas meja, ia langsung melengos pergi. Aku hanya bisa menarik napas agar tak mengumpat dan tetap kalem di depan Bagas.

Aku mengambil buku fisika, kini kupastikan tak akan salah ambil lagi. Jika itu terjadi dua kali, sungguh bodohnya diri ini. Aku kembali duduk di samping Bagas, membuka halaman tempat soal yang beberapa waktu lalu membuatku kelimpungan. Sebenarnya aku sudah paham cara mengerjakannya, tapi tak apalah hal itu kugunakan untuk alasan PDKT dengan Bagas. Duh, sejak kapan aku jadi cewek yang pintar banget modus.

Belum sempat aku mulai bertanya lagi, Nugi muncul dari balik rak buku.

"Awas! Jangan berduaan melulu, yang ketiganya setan." Dengan cepat dia berlari keluar dari ruangan. Menyisakan kekesalan yang kian membuncah di otak yang mendidih bukan karena suhu ruangan panas sedangkan di luar sedang hujan, tapi karena kelakuan Nugi yang semakin hari membuat tak habis pikir.

"Yang ini." Tanpa kusadari aku menunjuk buku itu dengan tenaga, membuat dentuman keras di atas meja. Mungkin efek kekesalan yang tidak tersalurkan. Aku menoleh, "Eh, maaf."

"Kalau soal yang ini, kamu tinggal liat contoh di halaman ini." Bagas membalik-balik halaman buku, menjelaskannya secara detail dan itu membuatku nyaman. Menatapnya dari samping sungguh membuat tak sadar jika satu soal telah selesai dijelaskannya.

"Sudah paham 'kan?" Bagas menatapku, "Nada!"

"Eh, iya." Aku tersadar dan tersenyum kikuk. Sudah yang keberapa kalinya aku seperti orang bodoh di hadapan Bagas.

Fokus Nada, Fokus!

Bagas melanjutkan penjelasannya. Fokusku terpecah, anak-anak rambutku berjatuhan berkali-kali walaupun berkali-kali pula aku menyelipkannya ke telinga. Aku mendesah sebal dan sesekali meniup rambut-rambut jahil itu, mungkin Bagas merasa terganggu sehingga menoleh kepadaku.

"Kenapa?" tanyanya.

"Eh, enggak apa-apa."

"Rambut kamu ganggu, ya?"

"Iya nih, aku lupa bawa jepit rambut." Aku kembali menyelipkan rambutku.

Bagas terlihat berpikir, mencari-cari sesuatu. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi ini adalah pertama kalinya kulihat dia kebingungan. Aku tersenyum samar. Lalu, cepat-cepat kuhapus senyum itu ketika Bagas meraih sesuatu dan menatapku.

"Coba pake ini." Dia menyisipkan tutup pulpen berpengait di sela-sela rambutku, membuat rambut itu diam tak menghalangi pandangan lagi. Tiba-tiba ada desiran hebat menjalari sekujur tubuhku, membuat beberapa detik kehilangan kendali atas diri. Kata orang kalau kamu sedang merasa jatuh cinta, maka kamu akan merasakan kakimu tak lagi menapak tanah alias melayang, tetapi nyatanya bukan itu yang kurasa melainkan aku merasa ingin meledak. Oh, aku tidak yakin jantung ini akan tetap bertahan menerima gejolak aneh lagi dan lagi. Inginku melompat dan berteriak histeris 'arrghh'.

"Lanjut ya!" ucap Bagas disertai senyuman. Membuatku terpaku beberapa saat lalu tersadar.

"Iya, tadi sudah sampai sini ya."

***

Aku melangkah riang penuh semangat dengan senyum menghiasi wajah. Kedua manikku berbinar-binar memasuki ruang kelas tampak lenggang, sepertinya anak-anak sedang ke kantin.

"Cie, yang habis berduaan sama pacar." Sambutan pertama yang menyambutku ketika pertama kali menginjakkan kaki. Aku menoleh, mendapati lelaki berperawakan tinggi sedang senyam-senyum tak keruan ke arahku sembari menyandarkan diri ke tembok yang kokoh.

"Siapa yang pacaran?" tanyaku menantang, lama-lama orang seperti dia tak bisa didiami. Didiami malah semakin menjadi.
"Kamu lah, sama cowok yang tadi di perpustakaan. Siapa namanya?" tanyanya sambil berbicara mengitariku.

"Aku bilangin sama kamu ya. Pertama, itu bukan urusan kamu. Kedua, aku enggak pacaran sama dia. Ketiga, nama dia itu Bagas."

"Saya juga mau bilang sama kamu. Pertama, itu juga urusanku. Kedua, karena saya sayang sama kamu. Ketiga, saya enggak peduli nama dia siapa." Nugi bersedekap dada. Apakah baru saja telingaku disambar serangga sehingga aku menangkap fakta bahwa Nugi menyukaiku. Ah, mungkin aku salah dengar.

Aku berlalu melewatinya. Namun, tanganku terasa dicekal. Aku menoleh mendapati tangan seseorang memegang lenganku.

"Mila?"

"Ikut aku sekarang!" Mila menarikku keluar dari suasana canggung. Sempat tadi aku berpikir bahwa Nugi yang berani-beraninya mencekal lenganku, hampir saja ocehanku terlepas jika saja tak segera menoleh. Uh, mau ditaruh di mana wajah ini jika itu terjadi.

Tepat di lorong pemisah kelas X dan XI Mila berhenti, celingak-celinguk tidak jelas seperti maling yang siap beraksi. Aisyah datang dengan setengah berlari, wajahnya terlihat panik.

"Aku denger semuanya." Mila berbicara setengah berteriak, sudah jelas dia yang paling heboh jika ada sesuatu. Aku sudah tahu ini akan terjadi. Itulah sebabnya menyimpan rahasia lebih baik, tetapi bagaimanapun tak ada kata rahasia dalam sebuah hubungan, termasuk persahabatan. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya.

"Kalian kok ninggalin aku, capek tahu ngejarnya," ucap Aisyah setelah menarik napas dalam-dalam.

"Siapa suruh jalannya lelet kayak putri keraton," cerca Mila.

"Kalian berdua kenapa sih pake heboh-heboh begini. B aja kali." Aku berlalu melewati mereka. Namun, lagi-lagi mereka mencekal menuntut penjelasan. Apa yang perlu dijelaskan?

"Eits, tunggu dulu. Jelasin semuanya, ada hubungan apa kamu sama Nugi? Jangan-jangan kalian udah pacaran tanpa sepengetahuan kita. Jahat banget kamu, Nad." Mila memukul-mukul lenganku dengan manja. Betul-betul membuat risi.

"Enggak dan enggak akan pernah ada sejarahnya Nada punya hubungan sama cowok super duper menyebalkan itu." Aku menghentakkan kaki kasar, "lagi pula kalian 'kan tahu, kalau aku cuma suka sama Bagas. Sejak kapan selera Nada jadi berubah?"

"Sejak Nugi nyatain perasaannya tadi." Aisyah dengan tampang dipolos-poloskan tersenyum ke arahku, sehingga menampilkan deret giginya yang rapi.

"Oh, jadi kalian nguping iya? Sumpah kebiasaan buruk kalian itu harus diilangin. Kurang-kurangin deh." Aku merasa sangat kesal, bukan hanya sekali atau dua kali sahabat-sahabatku ini melakukan hal yang menurutku melanggar privasi orang, tetapi sudah ratusan kali sampai aku sendiri bosan menegurnya. Capek!

"Iya, maaf. Tadi Ais khilaf, ini semua gara-gara Mila. Tahukan Mila itu jelmaan penghuni sekolah ini, jadinya aku kegoda." Aisyah menunjuk Mila. Membuat orang yang merasa disalahkan itu, menepis kasar telunjuk Aisyah.

"Dasar! Tapi juga suka 'kan nyari tahu hubungan orang." Aisyah nyengir.

"Terus gimana sama Nugi?” Mila menyikutku lembut dengan tatapan penuh arti. Semua ini bisa membuatku menggila. Berbicara dengannya saja membuat darah tinggi, apalagi menjalin sebuah hubungan. Bisa-bisa aku mati muda karena darah tinggi. Uh, jangan sampai.

"Jangan ngaco." Aku berlalu dari tempat itu. Sebenarnya apa sih yang ada dipikiran mereka? Jangan-jangan mereka ragu dan menganggapku tidak pantas pacaran dengan Bagas. Makanya mereka terlihat bersemangat melihatku dan Nugi dekat. Kalau benar begitu, dasar sahabat laknat!













[Keep Smile😊]





Ditulis: 1 Agustus 2018
Direvisi: 18 Oktober 2020

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang