II| 19 (dan selesai)

3 1 0
                                    

“Kamu kok jahat banget sih!” Aku meneteskan air mata sekali lagi, memukul dada bidang lelaki itu. Orang yang bertahun-tahun menghilang tanpa penjelasan lalu datang dengan hal tak terduga. Masih banyak tanda tanya yang bersarang di otak. Namun, euforia kebahagiaan yang kurasakan sama sekali belum mereda. Aku sangat bahagia.

Nugi memelukku, membenamkan wajahku ke tubuhnya hingga aroma mint khas lelaki itu merasuk ke hidung. Aku memeluknya seolah-olah tak ingin melepaskannya lagi. Menyesal sudah membiarkannya pergi dulu.

“Jangan pergi lagi,” gumamku tidak jelas. Ia terkekeh, hanya mengelus rambutku. Aku melepaskannya setelah cukup merasa sesak. Kulihat sekeliling dan ternyata!

Ada Ibu dan Papi di sana, Bang Dicky juga, Ilsa, Jaka. Aku mengernyit heran, lalu menghampiri mereka. Cukup terkejut.

“Kok bisa di sini? Katanya mudik!” Aku mengerucutkan bibir.

Ibu tersenyum dan mengusap-usap lenganku. “Masa kita enggak pergi ke lamaran anak sendiri sih.”

Aku menautkan alis. “Jadi?”

“Ini semua ide Ilham, Nad.” Nugi yang menjawab. Ia merangkulku pinggangku lembut. Aku menatapnya, tak ada tanda kebohongan di sana.

“Bentar, maksudnya?” Dengan tampang keheranan aku menatapnya menuntut jawab.

Nugi tersenyum. “Dia nemuin aku, Sayang. Jelasin semuanya, bilang kalau kamu benar-benar sayang sama aku dan dia ngasih satu kesempatan buat lamar kamu. Kalau aku lewatkan kesempatan itu, dia ngancam jangan harap bisa ketemu kamu lagi.” Dia mengelus rambutku.

Cukup menggelitik mendengar kata 'Sayang' itu kembali terucap dari mulutnya. Apalagi ditujukan untukku. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan semua ini.

“Tanpa pikir panjang aku iyain, hari itu juga saat kamu lagi kerja aku ke rumah dan bicara sama Ibu dan Papi diantar Ilham. Semua sudah tau, Nad. Termasuk Mila sama Aisyah,” lanjutnya. Aku melayangkan pandangan ke arah Mila dan Aisyah. Mereka hanya cengengesan sambil mengangkat dua jari menandakan ingin berdamai. Aku cemberut, bisa-bisanya mereka membuatku sangat sedih.

“Dan Bang Dicky yang nyaranin buat nge-prank kamu, katanya bentuk balas dendam karena sudah melukai sahabatnya.” Aku menganga, Bang Dicky jahat sekali! Ia bersembunyi di belakang Papi, ingin sekali kujambak rambutnya. Membuatku seperti orang gila beberapa hari belakangan.

“Intinya, aku benar-benar cinta sama kamu, Nad.”

Sangat tulus, aku tidak bisa menahan haru. Semoga saja ini adalah awal yang baik. Aku lebih mencintainya dari yang ia tahu.

Kak Ilham datang dengan sebuah kamera di tangan, ia mengarahkan lensanya padaku sembari berkata, “Senyum dong!”

Aku tersenyum, Nugi masih merangkul mesra pinggangku. Setelah ia memoto, aku langsung menghampiri dan memeluknya, mungkin ini bakal jadi pelukan terakhir karena ia tak mungkin memeluk orang lain lagi setelah aku bersama Nugi.

“Hei, Nad. Entar saya dipukul lagi sama calon suamimu lho.” Aku terkekeh, melepas pelukan.

“Makasih ya, Kak.” Aku tersenyum tulus, dari lubuk hatiku yang paling dalam aku sangat berterima kasih. Orang sebaik Kak Ilham pantas juga mendapatkan orang yang lebih baik dariku. Aku hanya berharap ia baik-baik saja, meski dari maniknya itu luka tergambar jelas.

“Sama-sama. Berbahagia ya.” Ia menatapku, lalu menatap Nugi. Tersenyum tulus untuk kami berdua.

“Beneran lu enggak apa-apa, Bro?” tanya Nugi. Ia menggenggam tanganku.

“Enggak lah, udah ada pengganti gua. Noh!” Kak Ilham memainkan ekor matanya, ia menunjuk ke Aisyah, orang yang merasa diomongin itu menjadi salah tingkah. Aku tertawa, semoga saja mereka benar-benar jadian, aku akan jadi pendukung yang berdiri di garis terdepan. Hidup Ilsyah!

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang