Melupakan memang tidak mudah. Namun, menyibukkan diri dengan sesuatu yang baru, kurasa mampu mengikis sedikit demi sedikit luka.
~Serenada cinta (23)
------------------------------------------------------
Aku memasuki area kantin dengan hati riang, dengan sahabat-sahabat di sisiku yang selalu ada untuk menghibur. Sejenak aku bisa melupakan sakit yang melanda hati. Aku berusaha untuk terus terlihat ceria, cukup orang terdekat saja yang tahu hatiku sedang merintih. Aku tak mau terlihat lemah, apalagi mendapat tatapan iba.
Samar-samar terdengar cekikikan, aku menoleh mendapati beberapa teman seangkatanku berlari kecil dengan hebohnya.
"Ah, Nada. Udah masuk sekolah, kemarin kok nggak masuk? Selamat ya," ucap Sabina memberondong.
"He-he-he, kemarin nggak enak badan. Makasih ya." Aku tersenyum canggung, baru kali ini aku jadi pusat perhatian.
"Wah, padahal kemarin Pak Karim muji-muji kamu terus ke anak-anak," celetuk salah satu dari mereka. Aku lupa namanya siapa. Aku tersenyum canggung untuk yang kedua kalinya.
Mereka menyalamiku satu per satu, lalu pamit untuk pergi. "Kami duluan ya, Nad."
Aku hanya membalasnya dengan anggukan kecil.
"Cie, yang dapet juara." Suara bariton khas lelaki sontak membuatku menoleh.
"Eh ... Nugi." Ia menjulurkan tangannya.
"Selamat ya." Aku menyambut uluran tangannya.
"Kalau gitu aku traktir!" Dia tersenyum manis ke arahku.
"Eh, nggak usah!" Mila menyenggol lenganku, memberi isyarat agar terima saja.
"Aku maksa, nggak boleh nolak," ucap Nugi.
"Ya udah deh." Aku menjawab pasrah.
"Duh, perutku sakit nih. Aisyah, temenin aku ke UKS dong!" Seru Mila yang sengaja dibuat keras. Drama.
Aku yakin mereka tidak akan ke UKS, melainkan malah melipir dan menetap selama jam istirahat di kantin belakang sekolah dekat taman. Aku memutar bola mata malas, melihat mereka berdua akting dan berlalu sok kesakitan. Lebay.
"Yuk, duduk!" ucap Nugi. "Mbak pesan bakso dua mangkuk."Aku duduk di kursi panjang yang saling berhadapan. Membuatku bisa melihat wajah Nugi dengan jelas. Aku terbelalak, baru kusadari lebam yang membiru di ujung bibir sebelah kanan Nugi.
"Kamu tawuran lagi?"
Dia menggaruk tengkuknya yang kuyakini tak gatal sama sekali, lalu ia nyengir kuda sembari mengangguk. Aku geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
"Ap—" ucapanku terhenti, Mbak Ayu meletakkan dua mangkuk berisi bakso di hadapanku.
"Pesan teh manis dua gelas ya, Mbak." Nugi tersenyum melihatku yang kesal karena tak jadi mencecarnya.
Aku mengaduk-aduk bakso yang ada di hadapanku dengan gusar. Baru setelah Mbak Ayu pergi, aku langsung menatapnya tajam.
"Apa sih enaknya tawuran? Nggak guna, tahu nggak!" Aku menuangkan saus ke dalam mangkuk."Kok kamu jadi perhatian sama aku!" Sontak saja kuletakkan botol saus itu dengan cukup keras, menyebabkan dentuman keras. Beberapa orang menoleh dengan tatapan heran. Jangan sampai mereka berpikir ini adalah pertengkaran sepasang kekasih.
"Serius!" Aku menatap tajam.
"Ya enak aja bisa bantuin teman yang mereka tindas tempo hari. Lagian mereka duluan yang mulai." Aku menuangkan kecap ke mangkuk, tapi cairan hitam kental itu sangat sulit keluar dari botolnya.
Nugi yang melihatku langsung mengambil botol itu dan menuangkannya ke dalam mangkukku.
"Tapi, kenapa nggak dibicarain baik-baik dulu. Jangan langsung adu jotos!" ucapku kembali mengaduk-aduk bakso.
"Udah, tapi mereka nyuruh kami minta maaf duluan. Katanya kami yang ngeganggu duluan. Siapa coba yang mau minta maaf? orang kita nggak salah." Mbak Ayu kembali datang dengan membawa nampan berisi dua gelas teh manis yang terlihat menggiurkan.
"Kenapa nggak minta maaf aja? Harga diri?" tanyaku.
Dia mengendikkan bahu, sembari menyantap baksonya dengan santai.
"Minta maaf itu bukan berarti menjatuhkan harga diri apalagi mengaku salah, tapi minta maaf itu bukti bahwa kamu sudah mengalahkan ego." Aku menyuap sedikit demi sedikit makanan yang ada di hadapanku.
Dia mengunyah makanan yang masih tersisa di dalam mulutnya sebelum berujar. "Iya, tahu. Cuma prakteknya susah."
Aku memutar bola mata malas. Percuma saja aku memberi nasihat. Orang keras kepala seperti dirinya tak akan pernah mau mendengar pendapat orang lain. Aku melanjutkan makanku dengan tenang. Merasakan sensasi pedas setiap kali memasukkan bakso ke mulut, lalu digantikan rasa terbakar membuatku berhenti sejenak. Aku menatap sekeliling yang penuh hiruk-pikuk siswa-siswa yang seakan tak pernah ada habisnya. Hal itu menambah suasana pengap, tetapi tidak dengan bangku yang kududuki dengan Nugi. Tak ada yang berani bergabung, apalagi mengganggu. Takut cari mati kayaknya. Aku sendiri sudah tak menganggap Nugi sebagai suatu ancaman. Selama bisa berteman baik, kurasa tak masalah. Aku menyesap teh manisku dengan santai sembari menatap lurus ke belakang Nugi. Aku membulatkan mata dan sontak tersedak. Meninggalkan rasa perih dan menyakitkan di kerongkongan.
Aku terbatuk melihat Bagas baru saja memasuki area kantin. Celingak-celinguk seperti pada saat itu–waktu dia mengabaikanku. Aku teringat dengan bodohnya saat itu aku langsung menyapa dan menawarkannya agar bergabung. Tetapi, yang kudapat malah sebuah pengabaian. Aku tersenyum kecut. Aku ingin menghindarinya untuk saat ini, agar luka itu cepat mengering.
"Nad, kamu nggak apa-apa?" Nugi mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku. Lamunanku buyar.
Ia ingin menoleh dan langsung kujawab. "Nggak apa-apa."
Ia mengurungkan niatnya untuk menoleh dan kembali menyantap makanannya dengan lahap. Aku menatap baksoku dengan hampa, tak bernafsu untuk melanjutkan makan. Tetapi, aku tak mau niat baik dari Nugi menjadi tempat pelampiasaanku. Dengan ogah-ogahan aku kembali menyantapnya dengan malas.
Aku harus memperjuangkan sesuatu yang baru!
[Keep Smile😊]
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenada
Teen Fiction[Revisi] [15+] Seseorang yang kuanggap baik, belum tentu baik untukku. Seseorang yang aku anggap buruk, padahal dia baik untukku .... Haruskah hati serapuh ini? Jika memang dia tidak menyukaiku, kenapa waktu itu dia melemparkan bunga? Atau hanya...