26. Resmi jadian?

24 8 8
                                    

Kebahagiaan baru memang harus diraih. Meskipun ada luka yang pura-pura menjelma sebagai bahagia yang diam-diam mendekat dengan tak tahu malu. Yang pasti aku mencoba untuk tidak peduli.

~Serenada cinta (26)

------------------------------------------------------

Setelah seminggu berlalu tanpa proses belajar-mengajar akhirnya pengumuman peringkat dipampang juga. Anak-anak sibuk mencari nama mereka masing-masing, berdesak-desakan bagai akan naik angkot saja. Aku memilih menunggu sampai kerumunan itu berhenti hilir-mudik seperti bis yang keluar masuk terminal. Aku menunggu di bawah pohon rindang dekat papan pengumuman sendirian. Aisyah sakit, sedangkan Mila juga ikut berdesakan tak mau kalah. Mataku mengamati lamat-lamat para siswa yang menunjuk daftar nama guna menemukan namanya. Bosan juga berlama-lama di sini.

Aku mendesah penuh kejenuhan. Membuatku melirik dan berniat maju ikut mencari nama. Tetapi, melihat anak-anak lelaki berdiri di barisan terdepan mengurungkan niatku. Badan mereka tinggi besar, mana bisa aku menerobos tubuh bak tembok China itu. Beberapa siswi berlari kecil ke arahku, menampilkan deretan gigi yang putih berkilau diterpa mentari. Ah ... pasti mereka dapat peringkat yang bagus dan naik kelas, makanya terlihat  bahagia dan senyum semringah.

Mereka menjulurkan tangan membuatku bingung tak tahu maksud, aku bergeming. Namun, salah satu meraih tanganku. Menjabatnya dengan penuh suka cita.

"Selamat ya!" Itu kata mereka. Lalu berlalu tanpa penjelasan membuatku makin bingung.

Ada apa sebenarnya, mengapa mereka aneh sekali?

Aku tidak ingin memikirkannya. Bisa-bisa aku penasaran sampai tak bisa tidur jika berusaha menangkap maksud dari tingkah mereka. Lebih baik aku kembali menunggu.

Dari tempatku berdiri kulihat Mila keluar dari celah-celah kerumunan dengan susah payah. Sesekali dia mengumpat pada anak lelaki yang menghalangi jalan dengan tubuh gempalnya. Membuatku tersenyum geli. Dia berlari ke arahku dengan tergesa, membuat rambut ikalnya yang diurai begitu saja bergoyang kekiri dan kanan. Dia tiba-tiba merengkuhku dengan erat. Seperti magnet yang bertemu besi, dia sama sekali tak mau melepaskan pelukan. Napasku terasa sesak karena pelukannya yang begitu erat, membuatku meronta.

"Duh, Mil. Aku sesak napas tau nggak!" Dia melepas pelukan, lalu nyengir sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Yang penting aku bahagia! Selamat ya sayang." Mila kembali ingin memelukku. Namun, dengan segera aku menghindar.

"Ini sebenarnya maksudnya apa sih. Aku bener-bener gagal paham." Aku bertanya dengan serius.

Mila menepuk jidatnya. "Kamu dapat peringkat satu paralel!"

Aku mendesah sambil memutar bola mata. "Serius ah. Bukannya si Bagas yang dapat? Jangan bohong! Nggak lucu tau."

Mila mendesah pasrah. "Yeeh, nggak percayaan banget sih jadi orang. Ya udah sini!" Mila menarik lenganku.

Kerumunan yang begitu riuh sontak menoleh dan menatapku dengan penuh arti. Membuatku bertambah pusing tiga tingkat. Mereka yang tadinya berdesakan kini menepi seolah tanpa aba-aba dengan otomatis menyingkir memberi jalan tuan putri dari kerajaan bergelimang harta. Itu memang lebay, tapi sekarang hal itu terjadi padaku saat ini. Aneh.

"Nih liat!" Mila menunjuk selembar kertas yang merekat kuat di papan pengumuman.

Aku terperangah dengan mata membelalak tak percaya dengan apa yang ada di depan mata. Sungguh seperti mimpi melihat nama terpampang nyata diperingkat pertama. Dan lebih tak bisa dipercaya lagi Bagas berada diperingkat kedua membuatku terkejut bukan main.

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang