II| 15

2 1 0
                                    

Sejak momen perdebatan itu, ia benar-benar menghilang. Ia tak lagi kutemukan di hari-hariku, padahal rumah kakak ipar yang ia tinggali hanya berjarak kurang lebih satu kilometer dari rumahku. Begitu kata Mila si mata-mata dadakan itu. Aku tidak menyangka bahwa harapanku saat marah jadi kenyataan. Saat itu aku berharap tak bertemu lagi dengannya. Namun, kenapa aku malah merindukan sosok yang kadar menyebalkannya itu tak pernah pudar.

“Mau makan siang, Nad?” tanya Bila saat masuk ke ruangan. Aku tersenyum lalu mengangguk. Daripada terus bergalau ria di tempat ini. Setidaknya berbicara dengan Bila sedikit mengalihkan fokusku padanya.

Aku berjalan lunglai mengikuti Bila, seperti orang tak bersemangat. Perempuan itu menengok, ia mengernyit lalu menghampiriku. Merangkulku dengan semangat.

“Kenapa sih, Nad? Kayak orang banyak pikiran gitu.”

Aku menghela napas kasar, mana mungkin aku ceritakan tentang Nugi yang sudah hilang selama hampir dua Minggu dari peredaran hari-hariku dan Kak Ilham yang kabarnya tak kunjung kudapati. Lelaki itu juga ikut menghilang, mungkin ia butuh jeda untuk mencerna semuanya. Terlihat dari post-ing-an Instagram-nya yang sedang liburan bersama teman-temannya. Termasuk Bang Dicky, aku tahu Abangku itu pasti malu sama Kak Ilham. Namun, yang namanya sahabat mereka tak bisa dipisahkan. Untuk yang satu itu aku kembali merasa bersalah. Aku sudah membuat mereka menjadi canggung untuk beberapa saat. Mengapa semua jadi rumit begini?

“Enggak kok, Baik. Ya cuma ngerasa capek aja. Mungkin gara-gara sering shift malam kali ya?” Aku mengedipkan mata dua kali.

Dia bergumam. “Hmm, ya udah ambil cuti aja, Nad. Atau enggak ganti shift sama yang lain. Tapi aku udah nyaman Nad kebagian shift sama kamu.” Ia cemberut.

“Enggak deh. Nanti capeknya juga ilang kok.” Kami sudah sampai di kantin. Kupesan bubur ayam di salah satu stan. Kantin cukup ramai, terlihat dari bangku yang terisi setengahnya.

Aku memainkan ponsel, mulai menjadi stalker untuk dua orang yang sama-sama menyebalkan dan sama-sama menghilang itu. Aku tak ingin memulai obrolan duluan, takut mereka jadi ge-er nanti. Terutama Nugi. Seperti beberapa hari lalu, Kak Ilham masih sibuk dengan kegiatan liburannya yaitu dengan mendaki gunung. Aku bahagia, bahwa manusia baik itu baik-baik saja. Semoga luka yang dibuat di hatinya cepat pulih.

Aku beralih mencari tahu tentang Nugi, bersyukur akunku tidak diblokir olehnya. Sama sekali tak ada feed terbaru darinya. Bahkan aku yakin ia lama sekali tak membuka akunnya itu. Apa ia punya akun baru? Tapi kata Mila hanya ini yang dimiliki lelaki itu.

Buburku datang, aku tersenyum pada Mbak yang mengantarnya. Saat ingin kututup ponsel aku langsung antusias kembali. Ada post-ing-an terbaru dari Nugi. Meski kelihatan tidak penting-penting amat tapi aku bahagia melihat ia masih hidup. Lebih tepatnya, bahagia mendapat kabarnya.

Ia hanya mem-posting gambar topi kamuflase dengan caption 'pantas?’ aku tidak mengerti apa maksudnya. Kulihat kolom komentarnya. Ada akun bernama Azizi yang berkomentar, 'pantas kok.’ Lalu dibalas Nugi dengan kalimat ‘iya, Sayang' disertai emot love satu biji. Entah kenapa hatiku langsung panas, kutelusuri akun gadis itu. Banyak sekali fotonya dengan Nugi, hatiku terasa semakin panas hingga tanpa sadar aku membanting ponsel.

“Ngeselin!” omelku.

“Kenapa, Nad?” Bila terlihat terkejut. Aku juga tidak tahu mengapa aku tidak bisa mengontrol emosiku, ya ampun Nada fokus! Sadar bahwa dia sudah milik orang lain.

***

“Ini nomor handphone saya ya, Bu. Kalau ada yang ingin ditanyakan lebih lanjut soal kehamilan langsung chat saya saja ya.” Sudah menjadi kebiasaan seorang Nada memberikan nomor ponselnya kepada Ibu-ibu hamil itu. Atau mungkin itu memang sudah kebiasaan seseorang yang berprofesi sebagai bidan? Selalu ikut was-was setiap waktu melahirkan seorang Ibu tiba. Aku tersenyum saat pasien itu berpamitan, ketika pintu tertutup aku membenamkan wajah ke kedua lengan. Sejurus kemudian Dokter Theo masuk. Ia menyerahkan beberapa map tentang data-data pasien. Aku tersenyum menerimanya.

Ia mengernyit di hadapanku, membuatku sedikit was-was jika ekspresinya sudah begitu. Itu berarti ada yang tidak beres.

“Saya perhatikan dari tadi pagi kinerja kamu tidak kayak biasanya, Nada?” tanya Dokter Theo.

Aku tersenyum kikuk. “Mungkin karena saya sedikit kecapean , Dok.”

Ia mengangguk. Aku semakin takut dibuatnya. “Jangan biarkan urusan pribadi mempengaruhi kinerja kamu. Bersikaplah profesional.” Setelah mengatakan itu Dokter Theo langsung keluar dari ruangan. Aku meringis, perkataan Dokter langsung tertancap di hati. Harusnya aku fokus untuk sekarang.

Aku menepuk-nepuk pipiku. “Ayolah, Nada. Pasti bisa! Fokus, fokus.”

Aku menghirup napas dalam-dalam, berusaha mencapai posisi terileks agar pikiranku sedikit tenang. Ada beberapa jam lagi waktu untuk pulang. Saat pintu kembali terbuka, aku langsung tersenyum ramah. Pasienku selanjutnya

***

Rumah lengang, hanya ada aku dan Jaka. Ibu pulang ke kampung untuk menghadiri pernikahan yang kalau tidak salah adalah nikahan teman anaknya. Papi ikut karena kangen rumah yang ada di kampung dan tentu saja otomatis Ilsa bakal ikut mereka. Bel rumah berdenting dua kali, aku menengok ke arah pintu.

“Jaka,” teriakku. “Ada tamu tuh bukain pintu.”

Tak ada jawaban, bel kembali berdenting. Entah apa yang dilakukan anak itu. Aku mengembuskan napas kesal, aku yang baru saja mandi dan masih mengenakan handuk di kepala berjalan malas ke arah pintu utama. Kubuka pintu itu, di depan pintu sudah ada seseorang berseragam merah. Aku yakin dia ini kurir, mungkin mau menanyakan alamat karena pasalnya aku tak memesan barang apa-apa. Kecuali ibu yang memesan dan lupa memberitahuku.

“Benar ini rumah Mbak Nada?” tanyanya.

Aku mengernyit. “Iya, benar. Ada apa ya?”

“Saya telpon dari tadi enggak diangkat Mbak. Ini ada paket buat Mbak Nada.” Ia menyodorkan paket berukuran sedang. Aku menerimanya, tapi ini dari siapa?

“Dari siapa ya?” Aku memeriksa tulisan yang ada di atas kotak. Tidak ada alamat pengiriman.

“Enggak tahu saya Mbak. Ini tanda tangan di sini, Mbak.” Aku beralih mengambil bolpoin yang ia sodorkan. Menandatanganinya dan segera masuk kembali ke kamar. Aku benar-benar lelah ingin tidur cepat.

Kulempar paket misterius itu ke atas tempat tidur, lalu dengan ogah-ogahan tapi penasaran aku membuka kotaknya. Mengeluarkan isi paket, di sana ada dua buah boneka yang sedang berpelukan. Lebih tepatnya boneka beruang cokelat dengan bulu lebat di tengahnya ada bentuk hati. Aku mengernyit, siapa yang mengirim boneka ini? Apakah ini untuk Ilsa? Tapi mengapa paketnya atas namaku.

Aku melirik kotak itu lagi, di dalamnya masih ada satu hal lagi. Buku dengan judul bagaimana menjadi seorang istri yang baik. Aku terkekeh, apa mungkin yang mengirimkan paket ini adalah Kak Ilham? Paket yang begitu misterius sampai-sampai aku tak habis pikir dengan isinya. Aku menggeleng tak habis pikir, meletakkan boneka itu di atas nakas di samping fotoku. Lucu sekali.

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang