Sebuah perjuangan memang tak akan pernah berhenti, bukan? Selama tubuh masih bisa menghirup oksigen, selama itu pula kita berjuang dalam hidup. Tetapi, aku harus mengakhiri perjuangan ini agar bisa memulai memperjuangkan sesuatu yang baru.
~Serenada cinta (19)
----------------------------------------------------
Akhirnya hari demi hari berlalu. Aku begitu fokus untuk belajar hingga tak terasa hari yang dinanti tiba. Hari ini aku akan berperang mengalahkan ratusan peserta olimpiade. Bukan dengan pedang seperti para samurai ataupun bambu runcing seperti yang digunakan para pahlawan yang gugur membela kemerdekaan bangsa Indonesia. Tetapi, menggunakan beberapa lembar kertas dan bolpoin dengan mengerahkan sepenuhnya kekuatan otak yang sudah lama kuisi dengan persiapan matang. Tak perlu gugup, kurasa.
Untungnya beberapa minggu terakhir aku dibantu oleh kedua sahabat kesayanganku. Mereka selalu menyuruhku fokus dalam mengejar tujuan. Tak melulu memikirkan si dia yang masih mendominasi pikiran. Makin hari aku sudah merasa baikan, tak kurasakan lagi luka itu. Tetapi, bukan berarti aku melupakannya. Hari ini aku akan menjawab pertanyaan beberapa bulan lalu itu.
Kenapa harus aku?
Tuhan tak membuat ini hanya sebuah kebetulan, bukan? Ini namanya takdir dan aku akan menyongsong takdir itu meski butuh perjuangan. Ah ... kini kutahu rasanya berjuang dari hati, meski dulu juga dari hati tapi disertai modus. Aku tertawa pelan mengingat hal itu. Mungkin ini juga adalah akhir dari perjuanganku. Aku sudah membulatkan tekad untuk mengakhiri semuanya. Kali ini aku akan melakukannya, tak seperti tekad-tekad bulatku yang tak pernah terlaksana sebelumnya. Kujamin kali ini benar akan terjadi. Sumpah!
Sejak setengah jam lalu, mobil peserta olimpiade perwakilan dari sekolahku sudah terparkir rapi di area parkiran sekolah tempat olimpiade dilaksanakan. Sekolah elite dengan halaman luas ini benar-benar bersih. Hanya ada beberapa sampah kulit permen yang tak begitu memengaruhi kebersihannya. Apalagi gambaran alam nyata yang tersuguh di depan mata menambah keindahannya. Di depan sana terlihat jejeran gunung seolah mengelilingi sekolah ini, ditambah lapisan kabut tipis membuatku betah untuk berlama-lama. Lalu-lalang peserta dari sekolah lain sama sekali tak mengganggu fokusku untuk menikmati pemandangan yang seolah menjadi canduku saat ini, Membuatku merasa tenang untuk sejenak sebelum berhadapan dengan puluhan soal yang memusingkan kepala. Kuyakin.
Aku berjalan menyusuri koridor yang tampak begitu ramai. Salah satu keuntungan mempunyai tubuh minimalis adalah dapat menyelip diantara orang-orang yang menghalangi jalan. Itulah yang kulakukan saat ini. Dibalik kekurangan pasti ada kelebihan, seperti pada kasusku ini.
Aku berjalan dengan sedikit berlari kecil untuk mengejar gerombolan siswa dari sekolahku, aku berjalan mengekor di belakang. Dari semua peserta olimpiade yang ikut dari sekolahku, sama sekali tak ada yang begitu akrab denganku. Membuatku merasa kesepian tanpa kedua sahabat tersayangku walau baru beberapa jam tidak bertemu dengan mereka.
Aku masuk ke dalam kelas, setelah mencari namaku di deretan daftar nama peserta serta ruangannya. Cukup melelahkan kurasa karena harus berdesakan dengan peserta lain, sialnya lagi daftar nama itu ditempel begitu tinggi hingga aku harus mendongak lebih gigih lagi. Uh ... risiko orang kurang tinggi. Tetapi, terlepas dari itu aku sangat senang. Pasalnya aku sekelas dengan Bagas. Tidak begitu buruk.
Aku meletakkan tas di bangku yang sudah tertera nomor peserta di meja. Aku mendaratkan bokongku lelah. Ternyata berkeliling sekolah juga menguras energi. Aku meneliti setiap sudut ruang kelas. Tak jauh beda dari kelasku yang ada di sekolah tercinta. Para peserta lain juga tak luput dari pandangan, kulihat seorang lelaki berkacamata sedang serius menekuni buku yang ada di hadapannya. Aku mengulum senyum, kagum melihat betapa gigihnya dia berusaha menjadi yang terbaik. Aku menoleh ke arah kanan, ada seorang perempuan di sampingku. Dia tidak sedang menekuni sebuah buku, namun sedang bergelut merapikan poninya dengan melihat dari cermin kecil, lalu menyisirnya dengan tangan. Aku tersenyum geli, masih bisanya dia memerhatikan penampilan. Tetapi, pada akhirnya mataku terpaku pada sesosok lelaki yang duduk di samping kanan bangku pertama dekat jendela. Lelaki yang sudah membawa langkahku jauh secara tidak langsung.
Tidak, Nada! Fokus dulu, memikirkan cara memikatnya nanti saja. Dia sekarang menjadi musuhmu di olimpiade ini. Bagas kita lihat saja nanti.
Aku memilih menatap ke depan mengahadap papan tulis. Seorang guru masuk dengan amplop besar berwarna cokelat berisi ratusan lembar kertas berpatri soal. Sebentar lagi aku akan menghadapi soal penentu perjuanganku saat ini.
Setelah berdoa dengan dipimpin oleh salah satu peserta laki-laki, kami langsung duduk. Menyiapkan bolpoin yang akan menorehkan beberapa bentuk garis silang di atas secarik lembar jawaban.
Soal-soal sudah dibagikan. Aku mengambilnya, membaca secara saksama dan menyimaknya dengan baik-baik. Kucoret-coret sebuah kertas khusus cakaran untuk mencari jawaban soal. Sungguh ini bukan perkara mudah. Beberapa soal kulangkahi menuju soal berikutnya, akan kukerjakan nanti setelah mengerjakan soal yang lebih mudah. Aku melirik jam tangan berwarna biru langit yang melilit indah di pergelangan tanganku. Ah ... sudah sejam lewat berlalu sangat cepat. Aku tidak merasakannya.
Huft ... semangat Nada! Dikit lagi. Jangan mengeluh apalagi menyerah.
Batinku kini menyorakkan segala bentuk dukungan. Membuatku semakin bersemangat untuk mengerjakan beberapa soal yang menurutku susah. Aku mengetuk-ngetuk pelan bolpoin ke meja sembari berdecak mengetahui cakaran yang sudah kutulis panjang lebar malah menampilkan hasil yang tak ada di opsi A, B, C, D dan E. Membuatku semakin frustrasi. Kuhela napas untuk menetralkan rasa kesal dan denyut yang melanda kepala. Jernihkan pikiran.
Tak ada yang lebih menyebalkan dari pilihan ganda yang tidak memiliki opsi jawaban yang benar. Entah pembuat soalnyakah yang salah mengetikkan jawaban atau cakaranku kah yang salah?
Aku mengulang cakaranku beberapa kali, namun jawabannya tetap sama. Kuhela napas sambil membiarkan hati memilih jawaban yang menurutnya paling benar. Salah satu perbedaan yang mencolok pada laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih cenderung menggunakan logika daripada perasaan. Berbeda dengan perempuan yang rata-rata menggunakan perasaan dalam segala urusan tanpa pandang keadaan, seperti pada saat ini yang kulakukan.
Ini soal terakhir yang kukerjakan. Setelah menyilang jawaban soal terakhir. Aku melirik ke arah Bagas sekilas. Aku yakin dia juga merasa frustrasi sepertiku, tapi entah bagaimana cowok itu selalu bisa menyembunyikan isi hatinya dengan mengontrol ekspresi wajahnya. Membuatku tak bisa mengetahui apa yang sedang dirasakannya hanya dengan melihat wajah penuh kharisma itu. Membuatku iri saja.
"Oke, Anak-anak waktunya sudah habis. Silakan kumpulkan lembar jawaban kalian." Suara berat milik Pak guru yang menjadi pengawas di ruanganku menginterupsi, membuyarkan lamunanku yang sempat membuatku terhanyut ke dalamnya.
Aku mengumpulkan lembar kerja itu ke depan. Tak sengaja mataku bertemu dengan tatapan Bagas. Wajahnya mengukir senyum tipis. Itu ditujukan untukku, bukan? Betapa aku sangat merindukan senyuman itu. Aku bahkan selalu berharap setiap hari akan mendapatkan senyum itu. Ya, hanya untukku.
Sebentar lagi aku akan melakukannya. Tunggu saja!
[Keep Smile😊]
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenada
Teen Fiction[Revisi] [15+] Seseorang yang kuanggap baik, belum tentu baik untukku. Seseorang yang aku anggap buruk, padahal dia baik untukku .... Haruskah hati serapuh ini? Jika memang dia tidak menyukaiku, kenapa waktu itu dia melemparkan bunga? Atau hanya...