4. Selangkah

78 17 9
                                    

Dia yang selalu membuatku tertarik dengan caranya sendiri. Tetapi, kenapa sulit untuk sekadar masuk ke pikiranmu, sedang kau mendominasi pikiran.

~Serenada cinta(04)

Hari ini Bu lestari--guru matematikaku tidak masuk karena sakit. Sekarang aku berada di perpustakaan untuk mengerjakan beberapa tugas Matematika yang ada di LKS (lembar kerja siswa).

Perpustakaan sangat sepi. Hanya ada aku dan penjaga perpustakaan bermuka datar itu.  Benar-benar membosankan, tapi apa boleh buat jika sudah begini. Keluar menyusul Mila dan Aisyah juga tidak mungkin, karena masih pagi begini mereka sudah duduk cantik di kursi kantin untuk menyantap makanan-makanan yang ada di sana. Padahal aku yakin mereka pasti sudah sarapan di rumah sama sepertiku. Sepertinya mereka punya lubang hitam di perut.

Seorang laki-laki dan perempuan masuk ke dalam perpustakaan sambil bercakap, aku tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan, tetapi, orang itu adalah Bagas dan Fanda.

"Kita harus belajar lebih giat lagi supaya bisa juara," cetus Bagas. Dalam diam aku mendengar percakapan mereka. Semoga saja mereka tak memergokiku yang sedang menguping. Kalau ketahuan itu benar-benar memalukan.

"Iya, itu harus." Fanda membalasnya dengan anggukan mantap. Dari percakapan mereka berdua, aku bisa simpulkan bahwa Bagas adalah orang yang ambisius, tapi dalam hal positif tentunya.

"Olimpiade fisika tinggal beberapa bulan lagi dan seleksi sebentar lagi, kita lihat siapa yang akan mewakili sekolah," ujar Fanda.

"Tentu." Bagas melanjutkan aktivitasnya memilah-milah buku yang akan dibacanya.

Kenapa aku tak kepikiran untuk ikut seleksi Olimpiade fisika? Dengan begitu aku akan lebih banyak waktu bertemu Bagas. Selangkah lagi aku akan lebih dekat dengan Bagas. Iya, selangkah lagi.

***

Beberapa menit lalu Bagas dan Fanda meninggalkan perpustakaan. Aku harus bergegas menemui Pak Hanif--guru pembimbing sekaligus guru fisikaku. 

Kaki berjalan menuju pintu keluar dan tak sengaja berpapasan dengan Nugi. Dia membuatku kaget. Apalagi disuguhi dengan muka kucelnya.

"Kamu mau buat aku mati kena serangan jantung? Bikin kaget aja," semburku kesal.

"Masih tahu cara bernapas, ‘kan?" Dia menjawab seolah mengejekku, tetapi sekarang bukan waktunya mengurus hal yang tidak penting.

Lagian buat apa dia ke perpustakaan, paling-paling cuma mau numpang tidur. Dasar anak badung!

Aku bergegas melangkahkan kaki cepat meninggalkan Nugi yang sempat kulihat dari ekor mata sedang geleng-geleng kepala. Hanya satu hal yang ada di kepala, harus segera bertemu dengan Pak Hanif.

***

Aku melihat Pak Hanif keluar dari kelas XI IPA 2,sepertinya habis mengajar. Aku langsung berlari menghampiri.

"Siang, Pak." Aku menyapa Pak Hanif dengan senyum yang kubuat semanis mungkin.

"Siang." Pak Hanif hanya melirikku sebentar dan tersenyum tipis, lalu melanjutkan jalannya. Jujur, aku agak kesusahan menyamakan langkah dengan Pak Hanif.

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang