II| 12

1 1 0
                                    

Aku menariknya sampai ke taman belakang rumah sakit, di sana tak banyak orang. Aku tahu dia akan meledak, padahal kami sama sekali tidak pacaran. Kak Ilham selalu saja mengakuiku sebagai pacarnya agar tak ada yang mendekatiku. Salahku juga sama sekali tak keberatan tentang itu.

“Nad, ngapain sih berhubungan sama mantan yang sering bikin kamu nangis itu? Lupa sama usaha kamu buat berhenti mikirin dia.” Kak Ilham langsung menyemburku. Ia dia tahu semuanya, aku menceritakan tentang Nugi padanya. Selalu meminta untuk membantuku agar tak ingat lelaki yang suka sekali menghilang. Bahkan tiga tahun lamanya.

Aku juga tidak ingin kembali berhubungan, tetapi takdir yang membuat skenario pertemuan ini.

“Aku enggak ada maksud buat deket lagi kok,” belaku. Aku yakin sudah tak ada yang perlu diharapkan dari sebuah masa lalu. Karena masa lalu ya masa lalu. Mungkin.

“Perasaan itu tumbuh karena terbiasa bersama, Nad. Dengan kamu dekat kayak begitu pasti pelan-pelan bakal ada rasa ingin memiliki kayak saya yang mengharapkan kamu.” Kak Ilham bertutur dengan lembut. Tahu aku tak suka dikasari.

Aku memalingkan wajah, bukan hal mudah untuk terus berhubungan dengan orang yang berkali-kali kau tolak. Aku heran kenapa orang ini masih saja terus ada di sisiku. Bahkan tak jarang jadi sayap pelindung yang siap sedia jika Bang Dicky tak bisa lagi mengutamakanku. Ia sudah beristri.

Aku menunduk. “Kita enggak usah bahas ini ya?” Aku menatapnya. “Aku mau kerja. Pulang ke rumah aja ya.”

Kutinggalkan ia yang masih bergeming di sana. Pikiranku bergelayut, ada perasaan bersalah membuat lelaki itu terus berharap. Aku sungguh tak ingin itu, bagaimana pun juga ia patut bahagia. Mungkin bakal ada penyesalan kalau lelaki sebaik dia mendapatkan orang yang lebih baik dariku. Namun, sungguh perasaanku hanya sebatas perasaan sayang kepada Kakak. Tidak lebih.

Aku berjalan menuju ruangan Ibu muda atau ipar Nugi yang baru saja bersalin itu. Masuk ke sana dan mengecek keadaannya. Ia tersenyum, bahkan kini wajahnya terlihat tak pucat lagi. Anaknya pun sehat, bayi perempuan yang sungguh menggemaskan. Hanya saja sedikit rewel dan minta digendong terus.

“Kapan ya bisa pulang?”

Aku menatapnya saat memeriksa data kesehatannya. Aku tersenyum, pasti ia tak sabar ingin membawa bayi mungil itu pulang. “Nanti siang sudah bisa, Bu. Setelah pulang langsung istirahat ya.”

Setelah berbincang-bincang soal kesehatan bayi sejenak. Aku akhirnya memutuskan untuk pergi, bertepatan dengan itu Nugi masuk ke ruangan. Aku hanya menatapnya datar, lalu berlalu pergi.

Benar kata Kak Ilham, harusnya aku menghindar agar rasa itu tak kembali tumbuh. Harusnya aku sadar dengan sakitnya sebuah pengharapan, aku tidak ingin jatuh ke lubang yang sama.

Saat akan berbelok ke lorong rumah sakit, ada yang mencegat tanganku. Aku terkejut berusaha menepis. Namun, tenaganya cukup kuat.

“Kamu menghindar, Nad?” Ia menahanku dan menghimpitku ke tembok. Wajahnya begitu dekat membuat jantungku berdetak tak keruan. Maunya apa sih orang ini.

“Apaan sih, Nug.” Aku mencoba mendorong tubuhnya. Ia begitu kuat, aku kesusahan untuk melepaskan diri. Takut dilihat orang-orang.

“Jawab dulu,” desaknya. Ia sama sekali tidak main-main. Mungkin masih kesal terbawa suasana tadi pagi.

Aku menyerah. “Iya.”

“Kenapa?” Wajahnya terlihat tak terima, ia masih belum membiarkanku bergerak bebas. “Apa karena cowok yang tadi pagi itu?”

“Iya.”

“Dia siapa kamu?” Mengapa dia jadi seposesif ini? Aku merasa itu bukan lagi ranahnya. Nugi sama sekali tidak berhak menanyakan hal-hal semacam itu.

Saat dia lengah aku mendorongnya. Ia mundur beberapa langkah, lalu dengan sengaja kuinjak kakinya kuat-kuat.

“Bukan urusan kamu!” ketusku. Aku melenggang pergi meninggalkan dia yang mengaduh kesakitan. Menyebalkan sekali.

***

Aku berjalan masuk ke ruangan tempat Adikku dirawat, Ilsa yang kini sudah kelas lima SD memang sering sekali asmanya kambuh apalagi jika ia terlalu kecapaian. Aku mendekati Ibu yang menjaga Ilsa di sana. Ia mengangkat sterofoam bekas makanan di sana. Ada dua sterofoam, aku segera mengambil alihnya. Ilsa masih tertidur pulas, semalam ia tak bisa tidur sama sekali karena menahan sesak, bahkan jika tidur pun ia akan terbangun karena mengigau.

Tempat sampah ada di dekat toilet ruangan itu, aku berjalan ke arahnya. Bermaksud membuang sampahnya, saat sampah tadi sudah masuk ke tempat sampah seseorang membuka pintu toilet. Aku mendongak mendapati Kak Ilham yang baru saja mencuci wajah. Ia tersenyum, aku hanya membalasnya dengan senyum singkat. Lalu aku beralih mengambil sapu yang ada di sudut ruangan.

Ia mengikutiku yang sudah mengayunkan sapu, bersiap membersihkan kamar agar Ilsa dan Ibu nyaman. Ia mengambil alih sapu.

“Udah, biar saya aja. Kamu pasti capek 'kan berjaga semalaman.” Aku pasrah saja membiarkan ia melanjutkan sapuanku. Perasaan bersalah itu makin tumbuh, mengapa perasaan ini tak ingin menjatuhkan rasanya kepada orang sebaik Kak Ilham? Aku tidak tahu sama sekali bagaimana cara kerja hati.

Aku duduk di samping Ibu, Kak Ilham pun menyusul saat sudah selesai membersihkan. Ya, Kak Ilham sudah berkenalan dengan Ibu saat liburan ke rumah kala itu dan Ibu sangat menyukainya sebagai teman Bang Dicky. Dulu Ibu sama sekali tak tahu bahwa kami dekat sampa orang menyebalkan nomor dua setelah Nugi itu bilang ke Ibu bahwa ia suka padaku. Sebuah keberanian yang patut diacungi jempol sih, tetapi sungguh saat itu rasa kesalku lebih besar padanya.

“Kalian ini makin-makin hari kalau dilihat-lihat makin cocok,” seloroh Ibu yang senyam-senyum memperhatikan kami berdua. Aku tersenyum kikuk, terlebih lagi dia.

“Ya gimana, Bu. Maunya sih segera ngelamar tapi Nada hatinya masih milik orang lain, Bu,” ucapnya sedikit melirikku. Lagi-lagi ia berusaha menggodaku.

Aku melotot, menendang kakinya yang ada di bawah meja. Orang ini kalau bicara suka sembarangan sekali. Aku mengacungkan tinju, mengancamnya jika sekali lagi dia berkata omong kosong.

“Siapa Nak Ilham?” tanya Ibu penasaran.

Aku menepuk jidatku. Bakal panjang urusannya ini.

“Mana saya tau, Bu. Coba tanya sama Nada.” Aku melotot sekali lagi. Aduh, bagaimana caraku menjelaskannya pada Ibu? Orang ini benar-benar menyebalkan. Padahal aku sama sekali tak ingin menceritakan tentang perihal hati dengan Ibu.

“Siapa, Nad? Kalau suka sama orang itu kenalin sama Ibu.”

Aku bergumam, lalu berdehem mencoba mencari jawaban paling aman. “Eng-enggak ada kok, Bu. Nih Kak Ilham itu suka bicara yang enggak-enggak. Jangan dipercaya.”

“Dih, emang be— Aduh!”

“Aku menginjak kakinya yang ada di bawah meja dengan sekuat tenaga. Kalau tidak begitu dia akan terus berbicara yang tidak-tidak. Membuatku pusing saja. Bakal susah sekali berbohong sama Ibu, ia terlalu curigaan dan bisa-bisa aku diintrogasi.

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang