II| 09

1 1 0
                                    

Aku duduk di taman depan fakultas, sembari memainkan ponsel. Aku tahu ada yang salah di sini, beberapa mata mencuri-curi pandang padaku. Entah tatapan sinis macam apa ini, apa yang sudah aku lakukan? Aku menunduk tak ingin melihat orang-orang itu, sungguh aku merasa terganggu. Seperti melihat penjahat saja.

Ting!

Sebuah pesan masuk. Dari seseorang yang menyebalkan, padahal bukan dia yang kutunggu. Aku membukanya, membaca pesan itu tanpa niat membalas.

[Di samping fakultas deket aula]

Dengan orang-orang yang menatap seperti itu kuputuskan untuk beranjak menemui sang pengirim pesan. Aku berjalan di teras fakultas, melewati orang-orang tadi. Membuat risi saja. Hanya butuh dua menit untuk mengitari fakultas dan menemukan orang menyebalkan itu duduk di sana sembari satu kakinya dipangku kaki yang lain. Ia merokok, aku memutar bola mata malas. Salah satu kebiasaan cowok yang tidak aku sukai. Apa enaknya menghisap asap?

“Gimana sih rasanya asap?” sarkasku yang langsung duduk di hadapannya. Ia tersenyum, mematikan rokoknya.

“Jangan ditanya, Nad. Nanti minta lagi!” kelakarnya, ia melempar puntung rokoknya ke tempat sampah.

Aku hanya memutar bola mata, kembali menatapnya. “Ngapain manggil-manggil?”

“Dih, siapa yang manggil?” tanyanya balik. Aku mengernyit.

Aku menyodorkan layar ponselku. “Ini apa?”

“Saya kan cuma bilang di samping fakultas, enggak bilang ke sini yuk!” Tampang cengonya begitu menyebalkan. Aku menghela napas panjang, lelah. Kemudian berdiri ingin beranjak daripada aku harus mati muda terkena darah tinggi.

“Eits, marah-marah mulu.” Ia mencekal tanganku, tak membiarkanku pergi dan menyuruhku kembali duduk. Ia kemudian terkikik.

“Becanda, Nad. Kok hari ini sensi banget.”

Aku pun tidak tahu mengapa jadi gampang marah begini, mungkin efek tamu bulanan sudah dekat tanggal bertamunya.

“Tutup mata coba!” suruhnya, ia meletakkan tangannya di depan mataku. Kutepis pelan, dia mulai tidak jelas lagi.

“Apaan sih?” tanyaku yang tak mengerti apalagi yang akan selanjutnya ia lakukan. Kalau dia masih membuatku kesal, sungguh akan kujambak rambutnya.

“tutup aja, Nad. Sekali-kali nurut kenapa sih?” Dengan penuh kepasrahan aku menutup mata.

“Sekarang apa?”

“Tadaaa!” Dia berseru gembira, aku membuka mata dengan malas. Seperti anak kecil saja harus tutup mata dulu baru memperlihatkan sesuatu.

Di tangannya ada sebuah cokelat. Aku mengembuskan napas, mengambil cokelat itu. Kukira apa, apa perlu mau memberi cokelat saja harus tutup mata.

“Yah, kok enggak seneng.” Wajahnya yang terlihat kecewa malah terlihat lucu.

Aku memaksakan senyum, pura-pura mengapresiasi usahanya. Namun, ia malah mencubit pipiku gemas. Aku mengaduh kesakitan. Berontak memukul tangannya, ia hanya tertawa terbahak-bahak. Pasti wajahku sudah memerah.

Di sela-sela tawanya aku jail memasukkan sepotong cokelat ke mulutnya. Ia hampir tersedak dan membuatku tertawa. Kini ia mendapat balasannya.

“Makanya jangan jail jadi orang!”

“Mua bikin orang mati nih anak!” Ia mengacak-acak rambutku gemas. Kutepis tangannya yang energinya lebih kuat. Habis sudah rambutku berantakan, tetapi ia merapikan rambutku kembali. Ia tersenyum. Lalu beralih mengelap bibirku, sepertinya ada bekas coklat di sana.

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang