35. Langit Mendung

31 7 0
                                    

Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok, aku hanya ingin semua baik-baik saja. Tetapi, itu tak mungkin terjadi. Hari esok pasti beda cerita.

~Serenada cinta (35)

------------------------------------------------------

Langit mendung sore itu menemaniku bersama ketiga orang yang kusayangi. Aku terus mengumbar senyum termanis tanpa ragu di hadapan Nugi. Mungkin hal yang tepat yang seharusnya dari dulu kulakukan adalah membiarkan hati ini mencintai Nugi. Orang yang menyukaiku tanpa syarat apapun. Namun, kenapa rasaku bersyarat padanya. Bahkan, hingga saat ini.

"Cie, dari tadi senyam-senyum mulu. Kesambet ya Neng!" Mila menyikut lenganku berusaha menggoda.

"Kan ada yang baru jadian. Jadi masih ekhem ekhem." Aisyah menyatukan tangannya, membentuk lambang hati di udara.

"Apa sih kalian berdua. Udah sana hush." Kukibaskan tangan pertanda menyuruh mereka pergi.

"Hadeuh, ngusir kita berdua karena kalian pengin mesra-mesraan 'kan?" Mila memainkan alisnya.

"Awas! Jangan berdua-duaan, entar ada yang ketiga," ucap Aisyah penuh penekanan. Aku memutar bola mata malas.

"Yang ketiga si Lisa ya? Dasar tuh si duri landak." Mila bertutur polos.

"Bukan, Mil. Tapi, setan!" Aisyah menggerutu.

"Oh ... ya udah kita pulang ya, Nad!" Mila dan Aisyah melambaikan tangannya sembari bergegas pergi. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis.

"Pulang yuk," ajak Nugi.

Aku terdiam sejenak. "Mau temenin aku?"

"Kemana?" Nugi mengernyit hebat. Baru pertama kali aku ingin terlambat pulang.

Aku berjalan duluan tanpa mengindahkan pertanyaan Nugi.
"Ikut aja!" Aku menoleh menatapnya yang masih betah bergeming. Ia hanya mengangguk tanpa banyak bertanya.

Aku menghentikan langkah, bergeming dengan pikiran menjalar kemana-mana.

Izinkan aku untuk bersikap aneh sekali saja. Karena kuyakin semua ini tak akan bertahan lama!

"Boleh cubit pipi?" Aku membalikkan badan, kudapati kernyitan dari Nugi.

"Kamu kenapa sih?" Nugi yang sedari tadi diam saja akhirnya angkat bicara. Kuyakin dia menangkap hal aneh dariku.

Aku mendengus. "Boleh nggak?"

Ia tersenyum lembut kemudian mengacak-acak lembut rambutku. "Boleh dong, Sayang."

Aku tersenyum penuh bahagia. Langsung saja kucubit pipinya dengan gemas namun lembut. "Dengerin aku ngomong ya! Tapi, jangan disela."

Dia mengangguk mengiakan. Membuat senyum semakin terkembang.

"Duduk sana yuk!" Seperti biasa, kuberjalan mendahuluinya.

Setelah bokong mendarat, kulepas tas dan menaruhnya di atas paha. "Nug, kamu yakin kita bakal gini terus?"

Kutatap dirinya yang akan membuka mulut untuk bersuara. Sontak saja kutempelkan jari telunjukku di bibirnya.

"Jangan sela. Semua pertanyaan nggak harus dijawab." Kutarik telunjuk dengan rasa canggung.

Kulanjutkan omong kosongku. "Aku cuma mau bilang. Tetap jadi Nugi yang baik ya! Meski nanti kita akan pisah, tapi kamu harus pertahankan semua ini."

Aku bergeming cukup lama. "Yuk pulang!"

Aku beranjak dari kursi taman. Namun, cekalan lembut menyergap tangan. Kumenoleh mendapati Nugi yang menatap penuh telisik.

"Kenapa kamu jadi aneh?"

Aku tersenyum lembut seolah tak terjadi apa-apa. "Enggak apa-apa."

"Bukannya dalam suatu hubungan harus saling terbuka?" Nugi melepaskan cekalannya.

Aku mendengus pasrah. "Aku cuma takut."

Ia menautkan alisnya. "Takut apa?"

"Aku takut nggak bakal bisa jaga kamu, mastiin kamu nggak berbuat hal yang pada akhirnya malah menghancurkan diri kamu sendiri. Iya, memang aku terkesan terlalu ngekang. Tapi, itu semua aku lakuin supaya kamu nggak jatuh lebih dalam sama kehidupan yang menurutku abnormal." Kutarik napas menahan genangan air yang menggumpal di pelupuk mata dan kuyakin akan meluncur kapan saja.

"Aku sadar, enggak seharusnya aku lakuin hal itu." Setitik air mata berhasil lolos, sial. "Aku cuma mau lihat kamu nggak dipandang sebelah mata lagi."

Genangan air mata itu tak lagi bisa terbendung. Pertama kalinya aku menangis di depan seorang laki-laki selain Papi. Aku terkejut, Nugi mendekapku dalam pelukannya. Membuat isakku terhenti oleh degupan jantung yang terpacu kencang.

"Aku suka semua yang kamu lakukan. Tetap jadi Nada yang buat aku berani berjanji yah!" Nugi menjeda kalimatnya, "aku nggak pernah merasa terkekang. Sama sekali nggak. Aku malah merasa kamu perhatian."

Nugi seperti tersentak, cepat-cepat melepaskan pelukan. "Eh, maaf. Aku nggak bermaksud."

Aku hanya mengangguk dengan canggung. "Aku nggak yakin kita bakal sama terus. Di akhir masa SMAku, aku harap kamu tetap jadi Nugiku. Kalau misalkan kamu dapat pacar yang lebih baik dari aku, semoga kamu nggak akan lupa kenangan kita. Bukannya aku nyuruh kamu nggak move on, tapi aku mau kita tetap berteman walau nggak sama-sama lagi."

Aku menunduk.

"Kamu jangan ngomong gitu, Nad. Kita bakal langgeng kok."

Aku menengadah. "Ingat ucapan aku waktu itu. Ujungnya pacaran pasti putus!"

"Makanya kita harus yakin, kalau kita akan baik-baik aja. Jangan ada akhir di antara kita, oke."

"Aku selalu yakin, Nug. Tapi, Pikiran itu selalu datang. Aku nggak bisa menepis itu semua." Aku memainkan ujung rokku.

Dia mengusap lembut pipiku. "Udah, nggak usah pikirin itu semua. Fokus aja sama SN kamu!"

"Kok kamu tahu?" tanyaku bingung.

"Mila yang bilang." Aku ber-oh ria sambil mengangguk-angguk bak anak kecil.

Nugi mencubit gemas pipiku. "Ya udah, pulang yuk!"

Aku mengangguk, bisa-bisa Ibu curiga karena kupulang terlambat.

"Setelah ini jangan nangis lagi, aku nggak suka." Nugi terkekeh.

"Ish, seharusnya kamu ngerasa beruntung karena kamu cowok pertama yang lihat aku nangis!" cebikku kesal.

"Ah, masa! Si Bagasi masa nggak pernah lihat kamu nangis?"

"Bagas, Nugi. Bukan Bagasi." Aku memutar bola mata malas.

"Serah!"

"Nggak pernah sama sekali."

"Oke, berarti aku yang pertama."

"Iyap."

Langit mendung kala itu menjadi saksi gelak tawa candaan yang terus bergema sepanjang koridor sekolah. Seolah matahari menutup malu melihatku tersenyum lebih cerah darinya. Hari ini aku sangat bahagia, kumohon jangan biarkan waktu berlalu begitu cepat. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok, aku hanya ingin semua baik-baik saja. Tetapi, itu tak mungkin pernah terjadi. Hari esok pasti beda cerita.

[Keep Smile😊]

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang