13. Masih Memikirkan Dia

42 8 8
                                    

Perlakuan sekecil apapun, jika dia yang melakukannya pasti akan terasa istimewa.

~Serenada Cinta (13)

------------------------------------------------------

"Hmm, Nada!"

Aku menoleh mendengar panggilan itu, "Iya?"

Dia terdiam sejenak, sepertinya sedang berpikir. Kurasa.

"Enggak apa-apa, cuma mau bilang hati-hati ya," ucapnya sejurus kemudian.

Aku tersenyum kecut, sempat saja tadi hati ini berharap lebih. Setidaknya dia menemaniku berjalan hingga di depan gerbang sekolah. Nyatanya tidak demikian, itu hanya angan.

Jangan berharap lebih, Nada!

Aku menyeret langkahku keluar gerbang sekolah, dengan rasa gundah dan gelisah yang membuncah masih ada satu hal yang membuatku menambah daftar perasaan yang kini kurasakan, kesal. Cowok itu berhenti tepat di hadapanku dengan mengendarai motor yang mesinnya sudah dimatikan olehnya. Menampilkan senyum khasnya yang rupawan. Ah, ralat itu terlihat menjengkelkan bagiku.

"Mau kuantar pulang?" tawarnya. Jika itu Bagas yang menawari, pasti tanpa pikir panjang kujawab iya. Tetapi, di hadapanku ini hanyalah Nugi.

"Nggak usah!" Aku berjalan melewatinya, berusaha menghiraukan semua gangguan yang diperbuat olehnya. Bukan Nugi namanya jika sekali mencoba lantas menyerah, dia mengikutiku dari belakang menggunakan motor.

"Kamu ngapain sih, ngikutin aku?" Aku menghentikan langkah, "sudah kubilang tidak mau diantar."

"Siapa juga yang ngikutin kamu, orang aku ngikutin jalanan," jawabnya.

Aku mendengus kesal dan kembali berjalan, "terserah."

Rasa risi menghiasi perjalananku yang terasa berat ini. Senandung kecil dari mulut Nugi kadang terdengar lucu. Sesekali aku mengulas senyum, tapi dengan sembunyi-sembunyi. Nanti dia jadi gede rasa lagi.

Kulihat langit yang mulai menjingga. Ada rasa tenang menelusuk diam-diam menyelimuti hati, juga aku sedikit merasa terhibur oleh senandung kecil Nugi. Setidaknya, aku bisa melupakan sejenak kegelisahan itu. Aku merasa sedikit tenang.

Aku melangkahkan kakiku memasuki halaman rumah, kulihat Nugi juga berhenti di depan rumahku.

"Apa?!" Aku menatap dengan garang.

"Udah sana masuk, jangan galau-galau lagi. Tadi aku cuma mastiin kamu pulang dengan selamat, enggak ketabrak karena jalan aja nggak fokus."

"Ck!" Aku berdecak sebal, jadi dia mendoakan aku tertabrak kendaraan begitu? Dasar.

Aku melangkah masuk ke dalam rumah dengan kaki disentak-sentakkan karena kesal. Langkahku baru terhenti ketika memasuki ruang kamarku. Oh, kamar kesayanganku. Akhirnya aku bisa mengistirahatkan tubuh yang terasa letih ini. Kini badanku sudah terkapar di atas kasur, membiarkan tubuh ini tenggelam ke dalam kasur empuk setelah tas sekolah kulempar sembarang. Masa bodoh, aku sudah kehabisan tenaga rasanya. Bahkan, berganti pakaian saja aku tak mampu.

"Kak Nada!"

Aku mendengus sebal, sepertinya acara istirahatku akan diganggu oleh makhluk cilik yang terkadang menggemaskan dan begitu menyebalkan di mataku.

"Apa sayang?" Aku bangkit dan duduk di tepi tempat tidur. Ilsa masuk ke dalam kamar membawa buku gambar yang digenggam oleh tangan mungilnya.

"Lihat gambal Ilsa, cantikkan?" Aku memandang gambar buatannya. Ada enam gambar manusia di sana, semuanya terlihat seperti orang-orangan sawah dengan baju compang-camping warna-warni. Bukannya aku kakak yang jahat, tapi aku orang yang jujur.

"He-he-he, gambar Kakak yang mana?" tanyaku.

Ilsa menunjuk gambar paling kanan, aku terlonjak kaget. Bagaimana tidak, gambar diriku sangat mengerikan. Dengan lekuk tubuh ramping kaki kecil, ditambah lagi leher panjang dan kepala sedikit gepeng, lalu diberi dress warna merah yang lebih mirip daster. Aku terlihat seperti jerapah penuh luka. Tetapi, sejurus kemudian mencoba untuk maklum.

"Ilsa banyak belajar lagi ya, cupaya tambah pintel. Ih adik akak!" Aku mencubit kedua belah pipinya lalu dia berlari keluar, bersorak tak keruan.

Aku mengangkat kedua tangan selaras dengan wajahku. Menatapnya lekat-lekat dan tersenyum. Aku mengingat cara Bagas menenangkanku dengan meremas jari-jariku lembut.

"Ah, sumpah aku senang banget," teriakku tanpa sadar. Sontak saja aku menutup mulut, takut ibu mengira aku kesurupan.

Aku bangkit menuju meja belajarku. Kubuka album foto tebal yang ada disudut meja, membukanya lalu tersenyum. Di tengah album itu, kuselipkan bunga mawar yang sudah menaburkan benih cinta pada Bagas. Ini semua karena bunga ini.

"Ini semua gara-gara kamu." Aku tersenyum. Aku sangat bahagia hari ini.

[Keep Smile😊]

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang