Chapter 41

1.7K 114 36
                                    

Jihyun pov

Selama ini aku selalu berpikir jika Jimin adalah sosok yang kuat. Dia yang tidak mengeluh. Dia yang tidak pernah marah. Dan dia yang selalu tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Karena itulah entah sejak kapan, aku mulai sedikit iri dengannya. Sosoknya yang begitu sempurna terlalu sulit untuk aku kejar. Dia yang pintar. Dia yang selalu mahir dan menjadi nomor 1 dalam segala hal membuatku ingin sepertinya. Dia yang sempurna itu, bahkan bisa dengan mudah menentukan masa depannya. Sedangkan aku, bahkan tidak diberi kesempatan untuk menentukan masa depanku sendiri. Karena itulah aku marah besar. Aku tau, aku tidak sesempurna Yoongi hyung dan Jimin tapi bukan berarti mereka bisa seenaknya menentukan masa depanku.

Selama ini, hubunganku dengan Jimin selalu baik-baik saja. Kita selalu menjaga dan mendukung keputusan satu sama lain. Tapi, disaat aku membutuhkan dukungannya. Dia malah mendukung keputusan Appa. Aku marah. Aku kecewa. Aku merasa di khianati oleh orang yang paling ku percaya. Karena itulah, aku mulai menjauh dari Jimin. Saat itu, aku bisa melihat sorot kesedihan di matanya tapi itu belum bisa menghilangkan rasa kecewa yang ku rasakan. Dia beberapa kali mencoba untuk minta maaf tapi aku terus menghindar karena belum bisa menerimanya. Aku pikir ini hal yang wajar untuk melampiaskan semua kekesalanku ini padanya. Karena itulah aku terus meneruskan hubungan buruk ini dengan Jimin.

Suatu hari, aku mendapati Jimin bolos kuliah. Tentu saja aku marah. Disaat aku bekerja keras dengan berbagai hal yang aku benci. Dia yang sudah mendapat semua yang dia inginkan malah hidup dengan seenaknya. Saat itu kita berdua sempat beradu mulut. Dan aku benar-benar terkejut karena untuk pertama kalinya dia membentak dan meninggikan suaranya padaku. Padahal selama ini dia bahkan tidak pernah bisa marah padaku.

Karena semua yang terjadi itu, hariku menjadi benar-benar kacau. Tidak ada satu hal pun yang berjalan lancar. Aku bahkan mengacaukan pertemuan penting perusahaan dan membuat Perusahaan hampir bangkrut. Aku frustasi, aku takut. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan saat itu. Pada akhirnya, aku melarikan diri dan pergi untuk menenangkan diriku. Tapi lagi-lagi hal buruk terjadi. Hal terakhir yang aku ingat saat itu hanyalah teriakan orang-orang dan rasa sakit luar biasa di kepala dan juga kakiku. Saat itu aku sadar, aku baru saja mengalami kecelakaan.

Aku tidak ingat berapa hari aku tidak sadarkan diri karena kecelakaan itu. Tapi saat aku membuka mataku, tidak ada satupun orang yang ada di sisiku. Lagi-lagi aku kecewa. Jauh dilubuk hatiku aku berharap setidaknya Jimin ada di sisiku tapi sayang dia tidak ada. Dia memang sempat datang keesokan harinya tapi dia malah menyuruhku bersabar karena dia harus merahasiakan tentang kondisiku dari keluarga sampai dia bisa menyelamatkan perusahaan nanti. Aku memang menuruti perkataannya itu dan berusaha untuk bersabar. Tapi aku merasa tersiksa. Aku kesepian dan membenci itu. Tidak bisakah dia menyempatkan diri untuk sekedar menemuiku.

Beberapa hari setelah Jimin menghilang tanpa kabar. Tiba-tiba dia datang begitu saja. Disatu sisi aku senang tapi di sisi lain aku merasa kesal padanya. Kenapa dia baru datang sekarang ? Aku ingin marah padanya, tapi dia tiba-tiba melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan oleh sebelumnya. Dia berlutut dan memohon maaf kepadaku.
Melihat semua itu, hatiku terasa sakit. Melihat sorot matanya yang kosong dan sayu. Ekspresi wajahnya yang penuh dengan keputusasaan membuat hatiku benar-benar terluka. Aku akhirnya sadar, bukan hanya aku yang menderita selama ini tapi Jimin juga. Setelah semua itu, akhirnya aku bisa berbaikan dengan Jimin. Aku berharap ke depannya hubunganku dengan Jimin terus membaik dan kembali seperti semula.

Jimin menepati janjinya saat dia bilang akan memberitahu keluarga tentangku dan perusahaan saat semuanya sudah selesai. Aku merasa malu pada Jimin karena sudah membuatnya harus menyelesaikan semua perbuatanku.

Saat itu aku belum menyadari perubahan pada diri Jimin. Namun seiring berjalannya waktu, aku sadar ada yang berubah dari Jimin. Tapi bodohnya aku terlambat menyadari semua itu. Sorot matanya yang dulu terlihat bersinar, sekarang mulai meredup dan kehilangan sinarnya. Bukan hanya itu, bahkan setiap kali Jimin tersenyum, aku selalu melihat kesedihan di wajahnya. Tapi karena dia selalu berkata baik-baik saja. Aku berusaha untuk percaya padanya.

I'm Not Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang