Bahagia, satu kata sederhana yang sangat sulit di artikan oleh Jimin. Jimin bisa paham semua persoalan sulit dalam pelajaran tapi Jimin tidak pernah paham apa itu bahagia atau kebahagiaan. Dulu Jimin memang pernah merasakannya tapi dia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya. Dan sekarang, dia akhirnya merasakan perasaan itu lagi. Kebahagiaan sederhana yang harus dia dapatkan dengan banyak pengorbanan. Kebahagiaan yang dia dapatkan dengan penantian panjang. Malam itu, untuk pertama kalinya Sang ayah tersenyum padanya. Untuk pertama kalinya Sang ayah bangga padanya. Dan untuk pertama kalinya, sang ayah memuji dirinya. Jimin bahagia, hanya itu yang ada di pikirannya.
“Kerja bagus Jimin-ah. Karena kau sudah menepati janjimu pada Appa, sekarang kau boleh melakukan keinginanmu. Kau ingin masuk fakultas hukum kan ? Kalau begitu Appa akan mengizinkanmu.” ujar Tuan Park mengelus kepala Jimin dengan senyum yang merekah di wajahnya
Setelah sang ayah mengatakan semua itu. Ada perasaan aneh yang dirasakannya. Dan dia sadar jika itu salah satu bahagia yang selama ini di carinya. Namun, bahagia yang harus dia dapatkan lewat penantian panjang itu tidak berlangsung lama. Kebahagiaan yang dia dapatkan itu harus dibayar sangat mahal olehnya. Jihyun berubah. Itulah yang saat ini dia rasakan. Saudara kembarnya itu berubah sejak kejadian hari itu. Jihyun yang selama ini adalah sosok yang hangat dan ceria berubah menjadi sosok dingin dan tidak berperasaan.
Sungguh, rasanya terlalu menyakitkan bagi Jimin. Jimin bisa menahan rasa sakit karena makian atau bahkan pukulan sang ayah, tapi dia tidak bisa menahan rasa sakit karena perubahan sikap saudaranya. Semua karena dirinya. Semua karena keegoisannya. Jimin mengorbankan seseorang yang paling berharga baginya hanya demi mendapat pengakuan ayahnya. Dan dia merasa sangat jahat karena harus bahagia di atas penderitaan saudaranya. Bukan ini yang diinginkannya. Bukan ini yang diharapkannya. Jika ia tahu semua akan menjadi seperti ini, ia akan memilih jadi seperti sebelumnya. Tidak apa fisiknya terluka. Tidak apa hatinya terluka. Seharusnya dengan melihat Jihyun bahagia, itu sudah cukup untuknya. Tapi kenapa dia begitu serakah dan melupakannya.
“Jihyun-ah! Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Makanlah dulu sebelum kau pergi!” titah Jimin pada Jihyun yang baru turun dari kamarnya
“Aku sedang buru-buru. Ada rapat penting di Perusahaan hari ini.” jawab Jihyun dingin
“Tapi kau tetap harus sarapan dulu. Kau bisa sakit jika terus melupakan sarapan.” bujuk Jimin
“Apa pedulimu ? Ini bukan urusanmu. Mau aku sarapan atau tidak. Mau aku makan atau tidak, itu semua hak ku. Jadi, berhenti bersikap seperti itu!” ucap Jihyun menusuk
“Asal kau tau, sikapmu yang seperti inilah yang membuat aku semakin muak padamu.” bisik Jihyun tepat di telinga Jimin
Jimin sudah cukup terbiasa dengan sikap dan perkataan Jihyun itu tapi tetap saja rasanya sangat menyakitkan.
Jimin menatap masakan yang sudah dibuatnya dan dia ikut kehilangan nafsu makannya melihat Jihyun yang seperti itu.
“Apa yang harus aku lakukan agar kau kembali seperti dulu Hyun-ah ?” tanya Jimin dalam hati
.
.
.
.
.
“JIMIN-AH!”
Teriak seseorang pada Jimin yang sedang berjalan di koridor Kampus. Jimin menoleh ke belakang dan dia melihat orang yang memanggilnya itu.
“Hahh..hahh.. Yak! Harusnya kau berhenti berjalan saat ada yang memanggilmu. Kau membuatku lelah karena mengejarmu.” keluh orang itu
“ Tidak ada yang menyuruhmu untuk mengejarku.” jawab Jimin cuek