West Jayakarta, Rumah (name).
October 9 2018, 03:20 PM.Merasakan perasaan hampa di dadanya, (name) hanya bisa terdiam kala mendapati ocehan sang ayah yang masih terus gencar membentak. Hanya karena dirinya yang memilih untuk memainkan gitar peninggalan ibunda, mengapa semuanya menjadi rumit seperti ini?
"KAMU DENGER OMONGAN BAPAK TAK?! GAK BAKAL SUKSES KAMU KALO IKUT JALAN IBUMU!" Hardik Luham, masih terus menatap tajam sang buah hati dengan kasar. Melihatnya saja, sudah membuat darahnya mendidih. "IYA AKU DENGER!!" Gertak (name) balik, meninggikan intonasi.
Ia benci sekali. Mengapa setiap ada hal yang buruk terjadi padanya, harus diikuti oleh perasaan sakit yang berulang? Baru saja dirinya memiliki masalah dengan Budi, sekarang ia malah sudah harus menghadapi ayahnya yang kasar. Harusnya, ia ikut saja dengan Alan tadi.
Kilas Balik waktu siang
Berjalan di sekitar taman kota Jayakarta, keduanya dapat merasakan angin yang terhanyut dalam sinar sang surya. Langit biru benar-benar mewarnai dunia bersamaan dengan lukisan dari para awan yang sangat indah dan elok untuk dipandang.
(name) dapat merasakan suasana hatinya yang perlahan melunak, tak seperti sebelumnya saat ia berargumen dengan Budi. Jujur saja, untuk meninggalkan bekas perasaan di hatinya, akan menjadi perjalanan yang sulit. Sangat sulit baginya untuk melupakan seseorang.
Ia kalah telak. Kalah dalam memenangkan hati Budi yang sudah lama berada di genggaman Sophia. Memang salah dirinya ini, menginginkan sesuatu yang bukan punyanya sejak awal. Menolehkan kepala ke arah sang murid kelas animation, tanpa sadar gadis itu merasakan pipinya kian memanas.
Dengan cepat, (name) berusaha untuk menutupi perasaannya menggunakan topeng ekspresi agar sang pemuda tidak mengetahui. Namun, sepertinya ia salah kala mendapati pertanyaan Alan yang cukup membuatnya terkejut. "Lu kenapa (name)? Ada masalah?"
"Gue nggak apa-apa."
"Gak usah bohong ke gua. Muka lo juga udah jelasin semuanya. Jadi, ada apa?" Potong Alan, seketika menghentikan langkah kakinya untuk fokus terhadap sang gadis.
Bagaimana bisa pemuda itu membaca raut wajahnya? Padahal, (name) kan sudah menyembunyikannya sebaik mungkin dari Alan. Ia tidak suka ini! Ia tidak suka kala orang lain dapat membaca pikirannya dalam sekejap.
Tidak seharusnya, Alan mengetahui raut wajah sang gadis. "Beneran gue nggak apa-apa kok." Ia masih terus mengelak, kabur dari pertanyaan yang ditujukan untuknya. Ia tidak ingin seluruh topeng yang dipasang, terbongkar begitu saja.
"Kayaknya, lo tipe orang yang selalu bersembunyi di balik topeng wajah lo ya (name)? Semua pikiran dan perasaan selalu dipendem, sampe-sampe lo bingung apa yang dirasain. Udah gak kaget lagi gua kalo emang bener."
Terdiam kala mendengar penuturan Alan, gadis itu dapat merasakan lidahnya kelu. Sepertinya, ia menjadi lebih gampang terbaca ya akhir-akhir ini? Sialan. Namun, bukan (name) namanya jika gadis itu mengalah. Dengan cepat, sebuah gelak tawa seketika terlontar dari mulutnya.
"Astaga! Pemikiran lo kejauhan Lan! Beneran deh. Gue tadi cuma lagi mikirin gimana ya anak-anak band pas tau kalo kita nggak ada di sekolah. Itu doang benerann! Tapi keren juga ya perkiraan lo. Sering baca buku psikologi apa gimana?" Tanyanya, mengalihkan topik.
"Kaga. Gua cuma nanya aja." Mengedikkan bahu, sikap Alan yang tak meneruskan hal ini, cukup membuat (name) lega bukan main. Hampir saja, dirinya ketahuan. Untungnya, ia dengan gampang dapat memutar balikkan topik.
Sesaat keduanya sedang menikmati siang itu yang tak terlalu terik, tiba-tiba saja terdengar sebuah seruan yang memanggil nama sang gadis. Ah, dia tahu suara siapa ini. Menolehkan kepala dengan cepat, (name) dapat merasakan bahunya menegang seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
She Way Out | Troublemaker
FanfictionAlan / Reader Padahal niatnya kan hanya untuk membantu mengirimkan surat cinta milik sang teman kepada salah satu anak kelas animation. Namun, mengapa dirinya lah yang terlibat masalah? Dengan pentolan kelas pula! "Jujur aja, lu suka bang Alan kan?"...