4. Rumah

302 21 0
                                    

***...***...***

Steven dan Elsa sekarang berjalan ke parkiran sekolah. Jam sekolah sudah selesai dan keduanya sudah berpisah dengan Karin yang sudah dijemput oleh Arya bahkan dari sebelum bel pulang sekolah berbunyi.

"Karin sama Kak Arya kayaknya bakal balikan, deh".

"Iya. Lagian Kak Arya udah bucin banget, sih, sekarang," sahut Elsa menyetujui perkataan Steven.

"Mereka kenapa bisa putus, sih, kemarin?"

"Gak tau, sih, Karin gak ada cerita, tapi anak itu galau banget waktu putus kemarin," jawab Steven.

"Makanya, ya, semoga aja berjalan lancar deh mereka berdua. Kak Arya juga baik kok gue rasa," sambung Elsa.

"Kita les besok kan, ya?" tanya Steven mengalihkan topik mereka.

Elsa mengangguk menjawab pertanyaan Steven.

"Hari ini mau nonton, gak? Ada film baru".

"Film apa?"

"Zombie-zombie gitu".

Elsa menautkan alisnya berpikir. Sebenarnya, hari ini Elsa tidak memiliki rencana khusus dan belum ada ujian dekat-dekat ini jadi bisa saja dia menonton dengan Steven, toh, sudah 3 bulan lebih mereka tidak pernah ke bioskop lagi karena kesibukan dan film di bioskop yang membosankan.

"Jadi, kalau gue liat di trailernya sih, ya, seru, soalnya zombienya itu penciumannya tajam. Jadi, manusia yang selamat ini harus selalu nyari wangi-wangian atau apapun supaya bau manusia mereka gak kecium sama zombienya".

Elsa semakin menautkan alisnya. Film macam apa itu?

"Gak, ah. Gue gak suka film gituan".

"Ayoklah, sekalian kita pelajarin cara survive kalau tiba-tiba wabah zombie beneran terjadi".

Elsa menoleh pada Steven, lalu tertawa kecil.

"Gak mungkin kali".

"Gak ada yang mustahil kali, Sa".

"Emang nih, kalau wabah zombie beneran kejadian lo bakal gimana supaya survive?"

Lagi. Steven entah sudah berapa ratus kali suka melemparkan pertanyaan yang aneh kepada Elsa. Kali ini topiknya adalah zombie.

Elsa berpikir sebentar. Matanya menatap lurus pada mobil Steven yang sudah berjarak beberapa meter lagi.

"Gue bakal diem di rumah aja, sih. Lari gue gak cepet, jadi kalau dikejar zombie udah pasti mati".

Steven tertawa mendengar jawaban Elsa.

"Iya, sih. Badan lo kecil, kaki lo pendek, cuma otak doang yang pinter udah pasti habis, sih. Kalau lawan zombie kan gak bisa cuma pakai otak perlu fisik yang mantep juga. Makanya sering-sering lompat biar tinggi".

Elsa mencubit kecil pinggang Steven membuat cowok di sebelahnya meringis, tetapi masih tersenyum lebar karena dalam kepala Steven cowok itu sedang membayangkan Elsa dikejar-kejar zombie dalam bentuk animasi.

"Kalau lo gimana? Lo bakal apa biar tetep bisa hidup?"

Mereka sudah sampai di mobil BMW hitam Steven. Cowok itu berjalan ke sisi kanan mobil sambil menjawab pertanyaan Elsa.

"Kalau gue sih bakal ngelakuin apapun buat nyelamatin lo. Soalnya kalau lo mati, gua mana bisa hidup".

Lalu Steven membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Sementara Elsa sepersekian detik membatu di tempat.

Tidak ada yang bisa menyalahkan Elsa karena jatuh cinta pada Steven karena cowok itu selalu melemparkan kata-kata manis yang membuat Elsa semakin tenggelam dengan perasaannya.

Kaca mobil perlahan turun. Mebampilkan Steven yang sedang menatap bingung pada Elsa.

"Ayok," panggil Steven dari dalam mobil.

Elsa segera membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.

"Mikirin apa?"

Elsa menggeleng, menatap lurus ke depan. Cewek itu tidak berani melihat ke arah Steven.

"Jadi, mau gak nonton?"

Elsa kembali menggeleng. Cewek itu berusaha untuk tidak terlihat salting.

Steven mengangkat alisnya seolah menunggu Elsa berubah pikiran. Melihat Elsa yang masih tenggelam dalam pikiranya cowok itu akhirnya menyerah mengajak Elsa nonton. Cowok itu menyalakan mobil, lalu mengemudikannya keluar dari sekolah.

***...***...***

Steven memasuki rumahnya yang besar. Rumah Steven benar-benar sangat besar, megah dan mewah. Maklum kedua orang tuanya memang berasal dari keluarga yang juga kaya raya. Tidak heran memiliki kekayaan yang luar biasa karena kekayaan dari masing-masing orang tuanya menjadi satu.

Rumah yang begitu besar itu selalu sepi. Sebenarnya, rumah Steven memiliki pembantu, tukang kebun, satpam, dan supir. Tetapi, di saat siang hari begini memang sedang sibuk masing-masing. Pembantunya kemungkinan sedang di dapur memastikan makanan. Tukang kebunnya sedang istirahat, supir pasti sedang menemani bapaknya yang bekerja dan satpam berjaga di pos depan.

Kaki Steven terus melangkah. Matanya sesaat berhenti di pintu kamar kedua orang tuanya yang tertutup rapat seperti biasa. Tanpa sadar cowok itu menghela napas berat. Kemudian, kakinya menaiki anak tangga, hingga sampai ke lantai dua.

Berjalan menyusuri lorong yang luas dan panjang. Langkahnya terhenti sebentar di depan ruangan yang sudah lama tidak ditinggali. Kamar milik kakaknya. Hatinya sedikit sesak, tetapi Steven memilih untuk melewati kamar kakaknya dan masuk ke kamarnya.

***...***...***

"KAK ECAAA!"

"HAI!"

Elsa merentangkan tangannya bersiap memeluk adiknya, Tian.

"Kak Eca pulang," ujar adiknya bersemangat sambil memeluk Elsa serat seolah lama tidak bertemu, padahal tadi pagi mereka sarapan bersama sebelum berangkat sekolah.

Tian merupakan adik bungsu dari Elsa, umurnya baru sembilan tahun, kelas empat SD. Tian memang sangat manja kepada Elsa karena dari bayi Elsa lah yang merawat Tian, walaupun waktu itu Elsa sendiri masih SD seumuran Tian saat ini.

"Tadi Bapak beli ayam goreng ada di dapur".

"Oh ya?"

Tian mengangguk bersemangat. Anak laki-laki itu masih sangat lucu karena tubuhnya yang masih pendek kecil dan mukanya yang lebih mirip ibunya tampak sangat menggemaskan.

Elsa mengacak rambut hitam adiknya, lalu berjalan masuk ke dalam sambil menggandeng tangan Tian.

"Tian udah makan?"

Tian mengangguk menjawab pertanyaan kakaknya.

"Tian tadi makan yang bagian sayap biar Kak Eca bisa makan bagian pahanya".

Hati Elsa menghangat, adiknya memang masih kecil, tetapi kepeduliaannya sudah sangat besar pada orang-orang di sekitarnya seperti Elsa, Mentari, dan ayah mereka.

"Makasih banyak, loh".

"Iya," jawab Tian, anak laki-laki itu duduk di meja makan.

Elsa menyusul duduk di hadapan Tian. Cewek itu bahkan belum mengganti seragam sekolahnya, tetapi tak apa, dia juga sudah cukup lapar.

Tangannya membuka tudung nasi yang ada di atas meja. Lalu mengambil nasi dan lauk.

Tian hanya memerhatikan kakaknya dengan seksama. Menunggu Elsa sampai akhirnya menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

"Enak kan?" tanya Tian segera setelah Elsa melakukan suapan pertama.

Elsa tertawa kecil.

"Iya, enak banget," jawab cewek itu.

Kemudian keduanya menghabiskan beberapa waktu berbincang bersama di atas meja makan berdua di siang hari itu.

***...***...***

Haiii

Terima kasih masih membaca cerita ini!

Sampai jumpa di part selanjutnya, ya 🫶

Menghitung BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang