22. Obat Ampuh

266 23 0
                                    

"Sudah hampir setahun lo gak ke sini".

Steven menaikkan alisnya merespon omongan pria dewasa di depannya.

"Gue minta dinaikkin dosis obat-obat gue," ujar Steven langsung pada tujuannya datang menemui orang di depannya.

"Kenapa?"

Steven tidak menjawab. Bastian, dokter psikiaternya masih memandang lurus menunggu jawaban keluar dari mulut cowok itu, tapi Steven terlihat tidak akan membuka mulutnya sama sekali.

"Terakhir kali waktu lo pingsan dua hari, gue udah naikkin dosis obat lo," ujar Bastian.

Umur keduanya sebenarnya cukup jauh, 10 tahun lebih. Bastian merupakan dokter psikiater Steven selama dua tahun terakhir, tepat ketika Steven akan masuk SMA. Melihat Steven yang masih hanya anak remaja awal membuat Bastian mengambil pendekatan berbeda. 

Bastian memang sengaja menempatkan dirinya seperti teman bagi Steven dengan menggunakan bahasa informal setiap kali mereka berbicara, bahkan saat konsuling di ruang psikiatri sekalipun seperti saat ini.

"Gue gak bisa naikkin dosis obat lo lagi," ujar Bastian. "Selagi gue gak dapat alasan tepat dari lo, gue gak akan naikkin dosis obat lo".

Steven menyederkan tubuhnya dalam-dalam pada kepala kursi. Matanya memandang jauh pada jendela di belakang Bastian. Melihat langit sore yang sudah mulai menunjukkan warna-warna jingga menuju senja.

"Mimpi buruk? atau ada sesuatu yang ngebuat lonjakan emosi di diri lo? karena apa? sekolah? keluarga?"

"Gue gak bisa tidur," jawab Steven. "Gue ngerasa panik beberapa kali dalam sehari".

Bastian mengetik sesuatu di komputer setelah mendengarkan sedikit penjelasan dari Steven.

"Di mana Elsa?"

Selama dua tahun terakhir, Bastian beberapa kali bertemu Elsa karena cewek itu biasanya selalu menemani Steven untuk kontrol mengenai penyakit mentalnya dan hari ini Elsa tidak ada. Bastian sebenarnya sudah mulai menebak-nebak apa yang terjadi pada Steven pasti berhubungan dengan ketidak hadiran cewek itu saat ini.

Steven tidak menjawab dan masih tidak membalas tatapan Bastian.

"Kalian berdua berantem?"

Steven menggeleng. Bastian memerhatikan ekspresi dari wajah cowok SMA itu. Steven tidak banyak menunjukkan emosi di wajahnya, tetapi Bastian bisa menangkap rona kesedihan di balik bola mata cokelat cowok itu.

"Apa lagi yang lo rasain?" tanya Bastian memancing Steven untuk membuka mulut.

Steven menggeleng.

"Lo gak tau apa yang lo rasain atau lo gak ngerasain apapun?"

"Gue gak tau," jawab Steven.

Sebuah senyuman tipis muncul di wajah pria berusia 28 tahun itu.

"Ini bukan tentang kisah cinta bocah SMA, kan?"

Steven akhirnya melirik ke arah Bastian dengan ujung matanya. Pria dengan jas putih itu kemudian tertawa kecil.

"Lo ditolak Elsa?" tanya Bastian tanpa berpikir panjang.

"Gue gak nembak dia," jawab Steven.

Kedua alis Bastian menyatu bingung. Dia pikir permasalahannya adalah Steven akhirnya menyatakan perasaan pada cewek berambut pendek itu, kemudian ditolak. 

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Bukannya lo suka sama Elsa?"

Menghitung BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang