34. Kalau gue nikah?

496 38 5
                                    

Steven sedang berada di tengah kerumunan para pejabat bersama dengan ayahnya yang berdiri tepat di sampingnya. Acara yang dia hadiri ini adalah acara tahunan presiden bersama dengan para menteri. Sekarang sudah masuk ke acara bebas, di mana semua orang mulai berbicara satu sama lain sambil menikmati hidangan penutup yang disediakan di banyak meja sekitar mereka.

Suara penyanyi di ujung ruangan menggema pelan di tengah riuhnya obrolan. Penyanyi yang jarang sekali terlihat di publik, tetapi memiliki suara yang sangat indah yang Steven yakini adalah penyanyi yang dikhususkan dalam acara-acara negara. Tentu acara resmi dan tertutup ini juga tidak bisa memanggil sembarang penyanyi karena takutnya membocorkan rahasia yang secara tidak sengaja terdengar di dalam ruang ini.

"Saya jarang sekali ketemu Steven, loh. Sekarang sudah tinggi sekali, Papanya aja kalah jauh," ujar seorang wanita dengan lipstik merah yang baru bergabung di antara mereka.

Adhinata, ayah Steven tertawa kecil mendengar perkataan wanita itu, lalu melirik pada Steven yang berdiri di sebelahnya.

"Iya, padahal masih SMA tapi tingginya sudah melebihi saya," sahut pria paruh baya itu ramah.

Steven hanya berpura-pura tersenyum dan mengangguk. Kalau Elsa ada di sana, cewek itu pasti akan memperingatinya untuk lebih lebar menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Siapapun orang yang melihat cowok SMA itu dengan serius jelas akan tahu kalau senyuman Steven hanya sebuah basa basi.

"Nanti kuliahnya mau di mana? Di luar negeri atau di Indonesia? Anak saya semuanya kuliahnya di Australia, biayanya masih masuk akal," lanjut wanita tersebut.

Steven tidak menjawab pertanyaan dari wanita itu, cowok tinggi itu hanya terus memamerkan senyuman kakunya. Melihat anak lelakinya menutup mulut, Adhinata akhirnya membuka mulut menjawab.

"Kayaknya kuliah di luar juga, mungkin di London atau Boston. Nanti rencananya mau ambil bisnis biar sama kayak saya dan ibunya".

Steven melirik ayahnya tajam. Senyuman yang tadinya ia paksakan sudah hilang. Mereka berdua tidak pernah berdiskusi apapun tentang pendidikan Steven nantinya, bahkan sekedar obrolan santai pun tidak. Atas dasar apa pria paruh baya itu menentukan Steven akan ke mana dan belajar apa di masa depan.

Kalau saja mereka tidak sedang berada di depan banyak orang saat ini, Steven pasti sudah bereaksi keras dan melawan perkataan ayahnya. Untungnya, cowok tinggi dan tampan itu masih bisa menahan emosinya yang bergejolak dan menutup mulutnya rapat-rapat agar tidak mempermalukan ayahnya.

"Oh, iya. Setahu saya memang kampus-kampus terbaik bisnis ada di sana," sahut wanita itu.

Steven mengeluarkan ponselnya merasa sudah benar-benar tidak tertarik dengan keadaan sekitar. Cowok itu lalu ikut berpikir tentang apa yang akan dia lakukan setelah lulus SMA nanti dan cowok itu langsung mencari kontak Elsa.

[Lo mau kuliah di mana?]

Setelah mengirimkan pesan singkat tersebut, Steven menggulirkan layar ponselnya ke aplikasi sosial media sekedar untuk terlihat melakukan sesuatu agar tidak diajak mengobrol lagi dengan siapapun.

[Jerman]

Sesaat jari jemari Steven terhenti melihat notifikasi yang masuk di paling atas layar ponselnya. Pesan tersebut berasal dari Elsa.

[Lo mau kuliah di Jerman? Serius?]

Steven menunggu sebentar sampai akhirnya mendapat jawaban lagi dari cewek rambut pendek itu.

[Iya, ambil kedokteran]

"Ha?" Steven tanpa sadar mengeluarkan suara saking terkejutnya dengan jawaban Elsa. 

Menghitung BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang