9. Trauma Steven

277 22 0
                                    

Elsa kecil berteriak kencang sekali dan disusul suara ambrukan keras dari tubuh Steven kecil. Kemudian pekerja-pekerja yang ada di Rumah Steven memasuki kamar Sasya. Menemukan tubuh anak bosnya yang laki-laki pingsan dan anak perempuan pertama bosnya tergantung bunuh diri menggunakan tali tambang dan kursi meja riasnya yang sudah jatuh asal ke lantai.

Tubuh Elsa kecil bergetar karena terkejut dengan apa yang dia lihat. Bu Linda kemudian menutup mata anak perempuan itu dengan telapak tangannya. Wanita itu menangis keras. Semua orang panik. Pak Surya, tukang kebun di rumah itu dengan buru-buru mengangkat tubuh Steven kecil yang sudah tidak sadarkan diri keluar kamar. Sementara Pak Ramlan menelpon bosnya dengan gemetar.

Bu Linda juga menuntun tubuh Elsa kecil untuk keluar dari kamar Sasya, kakak dari Steven. Rupa dari cewek itu sangat mengenaskan. Tubuhnya tergantung, lehernya terlihat membiru karena dililit keras oleh tali tambang yang dia gunakan. Matanya terbuka setengah, rambutnya tergerai jatuh menutupi sedikit wajahnya. Mulut cewek itu juga terbuka menganga seolah dia berusaha mengambil napas di detik-detik terakhir hidupnya.

Begitulah kejadian paling mengerikan dalam hidup Steven. Anak berusia sepuluh tahun itu menemukan kakaknya gantung diri. Steven awalnya hanya ingin mengenalkan kakaknya itu dengan sahabat barunya yaitu Elsa dan berniat bermain bersama, tetapi apa yang mereka temukan malah tubuh mati yang tergantung mengenaskan.

Kejadian itu terlalu tiba-tiba dan tidak pernah Steven kecil duga membuat anak kecil itu tidak pernah bisa hidup dengan tenang lagi dalam hidupnya.

***...***...***

Steven menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang. Matanya tertutup rapat, garis bibirnya datar. Cowok itu sedang melawan semua perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Dia merasa tenggelam di dalam lautan kehampaan.

Kedua tangannya melipat di atas perutnya. Lalu kepala cowok itu perlahan jatuh ke samping menandakan dia tertidur dalam keadaan duduk. Suara di dalam kamar itu begitu sepi hanya ada suara napas Steven yang semakin memberat seolah menandakan betapa putus asanya cowok itu dalam tidurnya.

Lama kemudian, Bu Linda, asisten rumahnya masuk ke dalam kamar. Hari sudah berganti bahkan sudah kembali sore menuju malam. Steven tertidur selama 22 jam dengan posisi yang tidak berubah sama sekali.

Bu Linda mencoba membangunkan cowok itu dengan menepuk pelan pundaknya, tetapi tidak mendapatkan respon dari cowok itu. Perasaan panik mulai muncul di wajah wanita paruh baya itu. Kali ini tepukannya dilakukan lebih keras, tetapi masih tidak menyadarkan Steven.

Wanita itu kemudian berteriak keras memanggil suaminya yang merupakan supir di rumah itu.

"Ada apa, Bu?"

"Dek Steven gak bangun-bangun, Pak! Dari kemarin aku kira cuma mau ngurung diri di kamar, tapi karena sudah mau jam makan malam aku coba bangunin".

Pak Ramlan mendekat dan mencoba mengangkat Steven, tetapi tubuh cowok itu terlalu tinggi dan berat sehingga Pak Ramlan yang sudah cukup tua tidak mampu lagi menggendong anak SMA itu.

Pak Ramlan kemudian menelpon ayah Steven memberitahukan bosnya itu bahwa anaknya tidak sadarkan diri.

Segera setelah telepon itu seorang dokter kepercayaan mereka datang dan memeriksa Steven yang kini sudah dibaringkan dengan posisi benar dan masih belum sadar dari tidurnya.

***...***...***

"Steve, bangun".

"Bangun Steve".

"Lo harus bangun buat makan".

Steven merasakan elusan lembut di telapak tangannya, kemudian perlahan cowok itu membuka matanya. Hal pertama yang dilihat oleh cowok itu adalah Elsa yang memandangnya dengan tatapan penuh dengan kesedihan.

Lalu cowok itu menemukan tangannya yang telah diinfus. Tubuhnya terasa sakit semua terlebih leher dan punggungnya.

"Kok lo di sini?"

"Lo tidurnya kelamaan".

"Ha?"

Steven tidak mengerti. Cowok itu hanya ingat bahwa dia sedang duduk diam di atas rajang setelah mengonsumsi tiga pil obat antidepresan yang dia punya agar bisa menenangkan rasa sakit di kepalanya.

"Lo udah tidur selama dua hari".

"Dua hari?"

Steven kemudian meraih ponselnya yang berada di meja samping ranjangnya. Cowok itu menemukan banyak notif panggilan dari Elsa dan pesan cewek itu yang menanyakan keadaannya.

"Kata dokter lo ketiduran terus kehilangan kesadaran karena efek lelah".

Steven mengerutkan keningnya. Masih belum mengerti apa yang terjadi. Seingatnya dia hanya menutup mata sebentar berniat untuk menenangkan pikirannya bukannya tidur.

Elsa kemudian berdiri dari duduknya. Dia menggunakan kursi belajar Steven untuk duduk di samping Steven sudah sekitar empat jam dia duduk di sana menunggu Steven bangun.

Cewek itu keluar kamar untuk mengambil makanan. Kata dokter Steven tidak bangun dari tidurnya karena ada pengaruh dari gangguan mental yang dialaminya. Tetapi cewek itu tidak mengatakan pada Steven mengenai gangguan mental. Dia merasa tidak tega mengatakan itu lagipula tanpa diberi tahu pun Steven sadar akan penyakit PTSDnya yang berkepanjangan.

Sementara Steven kembali menelusuri setiap pesan yang ada di ponselnya. Cowok itu berakhir membuka ruang pesan antardirinya dan Elsa. Sebuah senyum kecil muncul di wajah cowok itu, begitu banyak pesan yang dikirim oleh Elsa isinya terus bertanya dia di mana, sedang apa, apa sudah makan, dan perlu apa.

"Ini sup ayam yang dibuat sama Bu Linda. Lo harus makan sayur-sayuran karena lo udah dua hari cuma ngandelin cairan infus".

Elsa sudah kembali ke kamar menyodorkan sup itu kepada Steven. Cowok itu kemudian melempar pandangan yang sulit diartikan.

"Kenapa?"

"Tangan gue lemes banget, gue gak bisa makan".

Elsa menautkan alisnya bingung.

"Suapin gue".

Wajah Steven memelas seperti anak kucing yang minta makan. Elsa kemudian menuruti permintaan cowok itu. Dia menyuapi Steven dengan wajah yang datar dan berkali-kali melirik pada infus yang masih terpasang pada tangan Steven.

"Tadi Bapak lo ada di sini cuma abis itu katanya ada rapat yang perlu dihadiri".

"Oh".

Steven terlihat tidak tertarik dengan apa yang dikatakan Elsa. Selama ini memang ayahnya juga tidak pernah ada untuknya.

Steven mengunyah makanannya sambil melamun sesaat. Pikirannya tiba-tiba terbang ke masa lalu di mana dia juga pernah terkena demam berdarah ketika SMP dan hanya ditemani oleh Bu Linda, bahkan ayahnya tidak sekalipun menjenguknya di rumah sakit.

"Steve".

Elsa mengalihkan Steven dari lamunannya. Cewek itu kembali menyodorkan sesuap nasi yang sudah dicampur degan sop.

Tatapan cewek itu sangat serius. Seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan membuat Steven juga membalas tatapannya dengan kedua alis yang terangkat seolah bertanya ada apa.

"Lo gak boleh ketiduran kayak gini lagi. Lo harus bangun. Lo harus sadar kembali apapun yang terjadi dan jangan biarin diri lo tidur selama ini lagi".

Steven tersenyum tipis. Tidak menyahut perkataan Elsa, tetapi tatapannya semakin dalam seolah berjanji lewat tatapan matanya.

***...***...***

Hello gais terima kasih masih mengikuti cerita ini.

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan menekan bintang, komentar, dan follow aku ya supaya bisa langsung dapat notif tiap kali aku update.

Sampai jumpa lagi di chapter selanjutnya!

Menghitung BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang