31. Kembali Sebagai Sahabat

455 33 0
                                    

Steven menunduk di samping Elsa, cowok itu bingung harus memulai pembicaraan dari mana, terlebih malu atas tindakannya sebelumnya. Berlari dan merengek seperti anak kecil yang ditinggal ibunya. Meskipun bagi Elsa apa yang terjadi barusan adalah hal biasa. Sebenarnya, dulu Steven kecil sering menangis juga padanya ketika dia terlambat datang untuk bermain bersama.

"Maaf".

"Maaf untuk ingus dan air liur lo?"

"Saa...." Steven kembali merengek malu.

Elsa tersenyum tipis. "Bercanda," balas cewek itu.

Lagipula Steven hanya membasahi tangannya dengan air mata, air liur dan ingus hanya sekedar candaan untuk menurunkan kepanikan yang tampak jelas di wajah cowok itu.

Elsa cukup panik awalnya melihat Steven yang tergesa-gesa dan berantakan. Dalam kepala cewek itu sudah muncul berbagai macam asumsi mengerikan, seperti orang tua Steven yang berada dalam bahaya atau bahkan cowok itu sendiri.

Cewek berambut pendek itu juga memerhatikan tampilan Steven yang masih mengenakan baju tidur biru tua dan sendal rumah yang terbuat dari kain, yang sekarang sudah terlihat hancur karena dipaksa berjalan di atas aspal kasar. Wajah Steven juga lumayan pucat dengan bibir kering, pecah-pecah. 

"Gue minta maaf karena udah bohongin lo".

Elsa menganggukan kepalanya pada pengakuan Steven.

"Gue gak maskud bikin lo..."

"Udah gapapa, Steve," potong Elsa.

"Mobil lo mana? Kenapa lari?"

Steven teringat dengan mobilnya yang dia tinggal sembarangan di pinggir jalan. Kepala cowok itu menoleh ke arah ujung jalan tempat mobilnya berada. Tidak terlalu jauh sebenarnya, hanya perlu berjalan sekitar sebelas menit, tepat di belokan sebelum masuk ke jalan rumah Elsa.

"Habis bensin, gue tinggal," jawab cowok itu.

Elsa ikut melihat ke arah ujung jalan, lalu kembali pada wajah Steven.

"Gak bakal hilang?"

Steven menggeleng. "Itu mobil mahal mana ada yang berani maling," jawab cowok itu.

Elsa memilih tidak mendebat, lagipula yang dikatakan Steven ada benarnya. Mobil cowok itu adalah seri mobil Porsche yang jarang ada di Indonesia pun memiliki tingkat keamanan yang tinggi, jadi seharusnya tidak semudah itu untuk dimaling. Orang-orang yang cukup pintar juga pasti akan berpikir panjang untuk mencuri mobil tersebut karena sudah pasti berakhir ditangkap polisi.

"Lo udah makan?" tanya Elsa lagi kali ini mengganti topik.

"Belum. Temenin makan, yuk," jawab Steven dengan wajah yang memelas.

"Gue belum makan sama sekali dari kemarin," lanjut cowok itu.

Elsa memerhatikan wajah Steven yang berantakan dan rambutnya yang masih jatuh menempel di dahinya yang basah. Cewek itu lalu mengambil tisu yang berada di samping cowok itu dan melap keringat-keringat yang masih ada di wajah Steven.

"Kenapa gak makan?"

"Gue kepikiran lo," jawab Steven jujur.

Elsa menghela napas berat. "Bukan berarti lo bisa skip makan".

Steven memandang dalam-dalam pada wajah Elsa yang masih serius mengeringkan keringat yang ada di wajahnya. Cewek itu terlihat masih sama, seperti Elsa yang dia kenal, seperti Elsanya. Perasaan tenang mulai mengerubungi hati cowok itu.

"Gue takut lo benci sama gue".

Elsa memilih diam mendengarkan.

"Gue takut lo bakal ninggalin gue".

Menghitung BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang