37. Sebuah Pelukan

167 16 1
                                    

Ibu Linda terlihat ingin mengatakan sesuatu pada majikannya, tetapi ragu-ragu. Sehingga wanita hampir berusia senja itu terlihat mondar-mandir beberapa kali dan menggaruk kepalanya di depan Batara, ayah Steven.

"Kenapa Bu?" tanya Batara ketika menyadari kegelisahan asisten rumah tangganya itu.

"Itu.., anu Tuan, tadi nyonya sempat dorong Mas Steven sampai jatuh."

Batara menghela napas berat, "Di mana?"

"Di depan kamarnya Mbak Sasya. Terus Nyonya juga bentak-bentak Mas Steven..."

Pria yang masih berpakaian rapi, berjas hitam itu terlihat memandang jauh ke atas tangga. Memikirkan sesuatu di dalam kepalanya.

"Nyonya juga bilang kalau Nyonya gak kenal sama Mas Steven. Sebenarnya, Mas Steven keliatan sedih waktu Nyonya teriak-teriak bilang Mas Steven bukan anaknya, tapi habis itu Mas Steven berusaha ngangkat Nyonya buat dibawa ke kamar Tuan," lanjut Linda atas ceritanya.

Wanita tua itu terlihat tidak bisa lagi menahan diri. Dia sangat kasihan dengan tuan mudanya, Steven, yang bahkan sampai saat ini masih diperlakukan kasar oleh ibu kandungnya sendiri. Meskipun, tentu perlakuan dari majikan perempuannya itu adalah hasil dari sakit jiwa yang dia derita.

"Sama... kayaknya tangan Mas Steven ada luka dicakar sama Nyonya, Tuan."

Batara melarikan kembali tatapannya pada Linda, terlihat cukup terkejut dengan informasi itu. "Sampai dicakar?"

Linda cepat-cepat mengangguk, "Tadi waktu Mas Steven berusaha gendong Nyonya," jawab wanita itu.

Batara mengangguk. "Ibu bisa lanjutin pekerjaan Ibu lagi," ujar Batara mempersilahkan pekerja di rumahnya itu untuk pergi.

Linda langsung menuruti perkataan majikannya, berjalan ke arah dapur hendak menyelesaikan pekerjaannya yang lain, termasuk memasak makan malam untuk keluarga tersebut.

Sementara Batara masih diam sebentar di depan pintu kamarnya. Pria itu sedang berusaha mengambil napas banyak sebelum masuk ke kamar dan menemui istirnya. Setelah dirasa cukup, pria itu perlahan membuka pintu dan masuk ke dalam.

Luna, istrinya sedang duduk bersandar di atas ranjang. Wanita itu memandang kakinya sendiri dengan tatapan kosong. Pemandangan yang selalu ditemui Batara ketika pulang ke rumah. Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan. Istrinya hanya akan diam membatu berjam-jam dengan posisi yang sama.

"Steven itu anak kita."

Tidak ada respon apapun yang diberikan istrinya.

"Steven itu adiknya Sasya, anak kedua kamu."

Batara masih tidak mendapat respon.

"Sasya sudah mati."

Satu kalimat itu akhirnya berhasil mengambil perhatian istrinya. Luna langsung menoleh, memberikan tatapan tajam pada suaminya.

"Tapi Steven masih hidup," lanjut Batara.

"Diam!"

Batara menutup mulutnya setelah mendapat bentakan dari istrinya. 

"Siapa anak laki-laki itu?" tanya Luna dengan nada yang meninggi. "Suruh dia pergi dari rumah ini," lanjut wanita itu lagi.

Batara berdecak, "Dia anak kita."

"Anak kita Sasya!"

"Steven juga anak kita!" Batara ikut meninggikan suaranya.

"Sisa satu, Lun, anak kita tinggal satu." 

Suara Batara semakin memelan, tatapannya meredup karena air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Sasya sudah mati, dan kalau kita kayak gini terus Steven juga bisa ikut mati."

Menghitung BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang