29. Ternyata Elsa Tau

380 25 0
                                    

Steven terus merenung di dalam kamarnya. Pandangan cowok itu hanya tertuju pada langit-langit kamar yang dihiasi bentuk-bentuk benda langit yang berasal dari cahaya lampu tidur pemberian Elsa.

Tiba-tiba ponsel cowok itu bergetar mengambil semua fokus Steven. Tangannya dengan cepat meraih ponselnya yang berada di ujung ranjang. Sebuah notifikasi muncul di depan layar ponsel keluaran terbaru tersebut.

Di sana tertera nama Karin, bukan nama yang diharapkan Steven sebenarnya tetapi cowok itu tetap membuka isi pesan yang baru masuk itu. Ternyata, Karin mengajaknya untuk melakukan video call.

Steven berpikir sebentar, sebelum akhirnya mengirimkan balasan persetujuan pada cewek itu, sahabatnya di SMA bersama dengan Elsa. Segera Steven bangkit dari ranjang besarnya, meraih laptop dan membuka benda pipih tersebut untuk melakukan pertemuan daring dengan Karin.

Setelah sambungan keduanya telah terjalin, wajah Karin langsung muncul selebar layar laptop Steven.

[Lo bedua gak ada yang hubungin gue, ya, emang sialan,] kalimat pertama yang keluar dari mulut cewek cantik itu adalah makian.

Steven tersenyum miring. Karin tentu belum tahu apapun, belum tahu apa yang terjadi dengan dirinya dan Elsa saat ini. 

"Lo apa kabar di sana?" tanya Steven memilih tidak menanggapi kekesalan Karin.

Karin berdecak terlihat kesal, [Gue baik, sih. Cuma belum nemu temen aja di sini].

"Coba bahas Upin-Ipin sama mereka, deh," saran Steven yang berhasil membuat wajah Karin semakin masam.

[Malaysia bukan cuma Upin-Ipin doang, ya, Steve. Jangan bikin gue marah].

Steven justru tertawa kecil. Tawa yang sebenarnya tidak tulus. Wajah cowok itu bahkan terlihat tidak baik-baik saja, sedikit pucat dan berantakan. Steven belum mandi dari pagi karena kebetulan hari ini akhir pekan dan dia tidak ada energi untuk pergi ke manapun dan melakukan apapun.

Cowok itu bahkan belum menyentuh makan siang yang dibawa oleh asisten rumah tangganya tadi siang, padahal hari sudah menjelang malam. Dia benar-benar hanya menghabiskan hari dengan diam dan berbaring sendirian di dalam kamarnya yang diterangi lampu tidur pemberian Elsa.

[Lagian Elsa kayaknya sibuk banget, ya. Gue chat gak dibales, sekalinya bales malah bilang lagi bimbel lah, lagi di perpustakaan kota lah, barusan malah lagi di pantai bareng Rio] ujar Karin mengeluhkan kesibukan sahabat ceweknya itu.

"Elsa apa?" Steven merespon dengan sangat cepat ketika mendengar nama Elsa disebut oleh Karin. Apalagi ada nama Rio yang terselip di sana membuat hatinya gelisah.

Karin menautkan alisnya, merasa ada sesuatu yang terjadi.

[Elsa sama Rio lagi di pantai tadi gue tanyain pas mau ngajak vidcall. Kok lo gak ikut? Lumayan jalan-jalan sekalian nemenin Elsa mumpung hari sabtu, biasanya juga lo selalu bareng Elsa].

Steven menghela napas berat. Mata cowok itu melirik pada layar ponselnya yang tidak menunjukkan ada notif apapun, padahal dari pagi Steven sudah mencoba menghubungi Elsa. Sekedar pesan singkat bertanya tentang apa yang cewek itu lakukan hari ini dan tidak mendapat jawaban apapun. Sekarang justru dia mendapat kabar kalau sahabat semenjak SDnya itu sedang pergi bersama cowok lain.

"Elsa lagi ngindarin gue".

[Kenapa bisa?] tanya Karin.

Steven menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Karin. Cewek itu lalu berdecak dan menunjukkan wajah yang curiga.

[Lo ngelakuin apa ke Elsa?]

Steven diam dan berpikir.

[Elsa gak mungkin tiba-tiba ngindarin lo tanpa alasan. Lo ada buat salah apa ke dia?] tanya Karin lagi pada cowok di layar laptopnya.

"Gue sama sekali gak ad..."

Tiba-tiba omongan Steven terhenti, kepalanya memunculkan asumsi. Apa jangan-jangan Elsa sudah tahu tentang apa yang dilakukan Steven? Bagaimana jika ada yang memberitahukan Elsa tentang Steven dan Kezia yang berpura-pura pacaran supaya Elsa jadi move on darinya?

Karin yang melihat perubahan air muka Steven langsung memutuskan bahwa apa yang dia katakan benar.

[Lo udah coba minta maaf belum?]

"Tapi gue gak ngerasa buat kesalahan," sahut Steven dengan nada sumbang tidak yakin.

[Elsa gak mungkin kali ngindarin lo gitu aja. Dia kan...] omongan Karin terhenti karena sebuah suara yang memanggil dari luar kamarnya. [Oke, Ma!] teriak cewek itu menyahut.

[Sorry Steve, nyokap gue manggil, nih] ujar Karin mukanya terlihat menunjukkan keengganan untuk mematikan sambungan video call mereka.

[Nanti kita telponan lagi. Saran gue lo cepet-cepet, deh, minta maaf sama Elsa. Coba inget lo bikin salah apa. Oke?] lanjut karin terburu-buru.

"Oke," jawab Steven pada cewek berambut panjang yang ada di layar laptopnya.

[Bye!] pamit Karin dan setelah itu sambungan telepon mereka langsung terputus.

Steven menutup kembali laptopnya, meletakkan di atas meja kemudian membaringkan badannya di atas ranjang. Pikiran cowok itu terus melayang pada perkataan Karin barusan. Benar, Elsa tidak mungkin tiba-tiba menghindarinya begitu saja, maka sudah pasti terjadi sesuatu.

Akan tetapi, tidak ada satupun yang bisa Steven ingat, selain tindakannya yang berpura-pura pacaran dengan Kezia untuk membuat Elsa mundur. Apakah Elsa mengetahuinya? Tapi dari siapa? Bukankah yang tahu tentang hal tersebut hanya Kezia dan dirinya.

Steven yang merasa tidak tenang meraih ponselnya dan segera menghubungi Kezia, memastikan yang sebenarnya terjadi. Telepon dari Steven tidak diangkat oleh cewek keturunan sunda tersebut dan hanya mendapat balasan bahwa cewek itu sedang berada di bioskop bersama teman-temannya.

Steven mengetik pesan mempertanyakan apakah Elsa tahu tentang apa yang mereka lakukan atau tidak. Cowok itu lalu menunggu Kezia membalas. Cewek itu terlihat berulang kali mengetik dan menghapus pesan di ruang chat mereka membuat Steven semakin cemas. Jantungnya berdegup kencang seolah takut ketahuan melakukan sebuah kejahatan.

Sampai hampir dua menit, akhirnya Kezia mengirimkan balasan yang membuat Steven benar-benar kehilangan ketenangan.

[Sorry, Steve gue udah ngasih tau Elsa soal kita] adalah balasan dari Kezia.

Terlihat bahwa cewek itu kembali mengetik sesuatu dan Steven masih memandang layar ponselnya berharap bahwa apa yang dikatakan Kezia hanyalah sebuah candaan.

[Gue gak enak sama Elsa. Dia keliatan sedih banget. Gue gak tega] pesan baru dari Kezia.

[Sorry gue gak bilang sama lo] tutup cewek itu.

Steven langsung melempar ponselnya sembarang sambil berusaha menarik napas panjang. Pantas Elsa menghindarinya, pantas cewek itu tidak membalas satupun pesannya. Tiba-tiba pandangan Steven mengabur, keringat-keringat sebesar batu menghiasi wajahnya, padahal jelas kamar besar tersebut berhawa dingin dari ac central di sudut-sudut plafon kamar.

Steven yang merasa semakin lemas menarik selimutnya dan menutupi seluruh wajahnya. Ada perasaan takut yang menyeruak dan cowok itu tidak tahu harus berbuat apa. Dia bahkan tidak mengerti kenapa dia harus bersembunyi di balik selimut, padahal Elsa tidak ada di situ. Pikirannya kacau berantakkan terus memutar kemungkinan-kemungkinan buruk dan yang terbesar adalah Elsa tidak mau lagi berteman dengannya.

Cowok itu menjulurkan tangannya keluar dari selimut, meraih obat-obat anti depresannya yang berada di meja samping ranjang dan memasukkan asal ke dalam mulutnya. Dia menelan obat-obat tersebut tanpa meminum air setetespun dan membiarkan pahit menyeruak di setiap ruang dalam mulutnya.

***___***___***___***___***___***

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Kalian bisa tinggalkan jejak dengan vote dan komentar, ya.

Sampai jumpa lagi minggu depan!

Menghitung BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang