Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Hari pelaksanaan ujian akhir semester makin dekat, begitu juga dengan pelaksanaan event yang akan dijalankan dua minggu setelah UAS.
"Niat Abi, tuh, sebenernya biar kita mepet UAS nanti gak keteteran, Jan. Lo abis UAS pasti balik ke rumah, kan? Kapan lagi coba kita bisa bikin lukisannya kalo gak dari sekarang?"
"Gue bisa-bisa aja, Tar. Cuman Abi kan bilang mesti samain jadwal sama partner se-divisi, gue bentrok terus sama Dipta."
Aku menunjukkan ponsel yang berisi isi chat dari grup divisi. Abi menyarankan untuk berembuk untuk menyesuaikan konsep lukisan agar semua terstruktur dengan jelas. Kemudian di bawahnya aku memberitahu hari apa saja aku ada jadwal kosong, tapi ternyata Radipta mengabari bahwa semua jadwalnya bentrok dengan jadwalku.
"Ya udah ini ikutin saran Abi aja. Kalo gak bisa ketemu, daring lewat vidcall atau apa kek."
"Lo baca chat bawahnya, deh." aku mendekat pada Tari, ikut mengamati ponsel milikku sendiri lalu menggulir layarnya ke bawah. "Tuh dia gak setuju, mending cari jadwal lagi aja minggu depan katanya."
Tari berdecak. "Ribet, ye, si Dipta."
Selama kami bergabung untuk menjadi volunteer di event yang sama, kami sama sekali belum pernah mengirim pesan secara pribadi. Bahkan nomornya pun belum kusimpan sampai sekarang.
Ternyata benar dugaanku waktu itu, nomornya diganti. Kukira ia memblokir nomorku karena ia tak tampak aktif di sosmed manapun.
Aku tak tahu apa yang ia lalui sampai ia bisa berakhir masuk di kampus yang sama sepertiku dan menjadi adik tingkat? Itu suatu kebetulan yang mustahil bila dipikir-pikir. Ingin kutanyakan tapi aku tak ingin membuatnya berpikir aku masih peduli.
Padahal aku hanya penasaran.
"Nih, si Dipta chat pribadi." Tari menyerahkan kembali ponsel milikku.
Minggu depan hari selasa kosong?
Kubalas iya kemudian ia kembali mengirim pesan.
Hari itu aja. Jamnya nanti gue kabarin lagi.
Oke.
Interaksi kami berakhir.
Kupikir ini adalah interaksi lewat chat pertama kami setelah terakhir mengirim pesan adalah dua tahun yang lalu. Waktu itu tak mengira kami akan kembali bertemu dan berinteraksi seperti baru kenal seperti ini.
Tapi mungkin ini yang terbaik. Meski bertemu lagi, aku tak berharap kami akan ada hubungan apapun selain partner event. Harusnya ini mudah karena ia tak pernah benar-benar punya perasaan padaku, pun aku sekarang tak punya perasaan apapun padanya.
Hanya bersikap seadanya seperti partner kerja pada umumnya, bukankah harusnya mudah?
"Jadi buat jadwal?"
Aku mengangguk. "Selasa katanya."
"Loh, gak bareng Abi berarti?"
Alisku mengerut. "Abi bukannya kosong juga selasa? Tadi dia bilang di grup?"
"Kosong buat ngurus sponsor, neng," Tari menggeleng. "Ya udah, berarti lo berdua doang."
"Lo gak mau ikut?"
"Beda divisi ngapain gue join?"
"Siapa tau aja," aku mengangkat-angkat alis. "Biasanya gas kalo ketemu dia."
"Gak, deh. Kapok gue ditolak kayak kemarin." Tari menepuk-nepuk bahunya mendramatisir. "Harga diri gue lebih utama, Jan. Mau ditaro mana muka gue kalo ketemu dia setelah ditolak gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang Habis Kelana
Teen Fiction[Bagian kedua dari kisah Satu Cerita Untuk Kamu] Semuanya mereda dan berjalan semestinya, hingga Renjana bertemu Kavi Yogaswara. Lelaki dengan segala kebaikannya. Kavi punya semua, apapun yang Renjana butuhkan. Menjadikan keduanya saling mengagumi d...