41. Yang terbaik untuk hati yang baik

896 98 10
                                    

Suasana perumahan di jalan Soetomo ramai dikerubungi para tetangga dan keluarga-keluarga terdekat. Ini hampir pukul setengah dua belas malam. Namun larutnya malam tak meruntuhkan lantunan ayat yang bergema di ruang keluarga.

Aku duduk di teras rumah, banyak bangku yang disediakan disini untuk tetangga dan kerabat yang hadir.

Satu demi satu buliran air mata ku usap kasar, meski sudah banyak tetesannya yang jatuh pada buku penuh doa yang kini ku genggam.

Pikiranku kosong—atau penuh? Tak bisa dijabarkan. Mungkin saking penuhnya sampai tidak bisa berpikir juga.

Di kananku ada Radipta yang juga tengah merapalkan doa sembari menepuk-nepuk ringan bahu kiriku. Di sebelah kiri ada Tari, ia juga menangis, bahkan lebih parah. Lalu disamping Tari, sudah tidak bisa dijabarkan lagi seberapa keras menangisnya.

Selain keluarga yang ditinggalkan, ku tahu Bejo pasti sangat-sangat merasa kehilangan. Bejo merupakan teman terdekatnya meskipun dulu kalau kutanya selalu bilang kalau mereka berteman hanya sebatas sama-sama butuh. Di balik itu, aku tahu seberapa erat pertemanan mereka.

"Tar... sorry gue telat baca chat lo,"

Tari menggenggam tanganku. "Lo gak telat dateng. Tapi kita yang telat buat cegah ini."

Tangisannya makin deras, begitu juga denganku. Nafasku tercekat sampai tidak bisa bicara apa-apa lagi. Yang ku lakukan hanya kembali berdoa dengan banyak pertanyaan di kepala.

"Dek,"

Sepuluh menit kemudian, salah satu bapak-bapak menghampiri kami.

"Sudah malam ini, sekarang pulang saja dulu. Besok bisa datang lagi ketika dimakamkan."

Radipta menoleh, lalu mengangguk. Aku mengajak Tari dan Bejo untuk ikut serta karena Radipta tadi datang kesini membawa mobil milik teman kafenya, namun Bejo menolak. Katanya ia ingin tinggal disini sampai esok.

Kami sama-sama mengerti perasaannya, jadi kami pamit pada orang-orang di sekitar, sebelum melangkahkan kaki keluar dari pekarangan rumah.

Selama perjalanan, keheningan menguasai kami. Kulirik sejenak ke belakang, Tari ketiduran. Mungkin kelelahan karena dari dua hari lalu kudengar ia sudah diterima di perusahaan dekat kampus untuk magang.

Sementara Radipta masih fokus menatap jalanan. Mungkin ia segan untuk bicara, tapi aku pun sedang tidak sanggup untuk sekedar mengucap sepatah kata.

"Besok gue jemput pagi, ya," ucapnya kala kami sudah hampir tiba di rumah Tari. "Lo istirahat dulu abis ini. Tenangin diri dulu."

Aku mengangguk tanpa menatapnya.

Tak lama kami tiba. Aku membangunkan Tari. Ia menggeliat sejenak, lalu mengucap terima kasih padaku dan Radipta.

"Besok sekalian bareng juga, ya? Nanti dijemput." tanya Radipta yang mendapat gelengan kepala dari Tari.

"Gak papa, Ta. Gue sendiri aja nanti."

"Serius, Tar?" sahutku. "Bareng aja biar aman."

"Gak papa kok, Jan. Nanti besok gue kabarin lagi ke lo mau berangkat jam berapa."

Aku akhirnya mengangguk. Lalu aku dan Radipta keluar dari perumahan Tari untuk menuju kosanku berada.

"Gue gak tau apa yang lagi lo pikirin, but don't blame yourself for what happened today."

Bagaimana untuk tidak menyalahkan diri sendiri? Meski sudah tidak terlalu dekat, aku pernah ada disekitarnya dan aku pernah tahu permasalahan di kepalanya. Mau dibilang sudah takdir, tetap tidak bisa menepis pemikiran di kepalaku bahwa ini bisa tidak terjadi kalau aku atau orang di sekitarnya lebih peduli. Padahal aku bisa bilang segala kerumitan yang ada di dirinya pada Bejo. Itu tak sulit. Tak makan waktu. Tak merepotkan. Tapi kenapa tak aku lakukan.

Pulang Habis KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang