27. Kok jadi iseng?!

2.7K 362 145
                                    

Dengan banyaknya bukti yang kami miliki sekarang, kesimpulan sementara, aku dan Tari masih mencurigai Kak Edo sebagai tersangka.

"Tapi masa semudah itu, ya, nemuin orangnya?" Tari berdecak. "Maksud gue, tuh, kayak kebetulan banget, Jan. Apalagi pas Kavi ngasih tau soal gelang. Bener-bener di hari yang sama kita liat Kak Edo punya gelang yang sama."

Benar apa kata Tari. Sebenarnya bagus kalau orang itu ditemukan lebih cepat. Hanya saja masih terasa menjanggal kalau kami pikir. Apalagi melihat sosok Kak Edo yang seratus persen kelakuannya berbeda jauh dari hal-hal tak bermoral seperti itu.

"Orang kayak Kak Edo. Gak mungkin gak, sih?" tanyaku pada Tari.

"Ya gak ada yang gak mungkin juga. Orang sebaik apapun, bisa aja nyembunyiin sifat aslinya di belakang. Cuma yang gue heran, tuh, kenapa bisa sekebetulan dan secepat ini kita nemuinnya."

"Lo berarti beneran percaya kalo laki-laki itu Kak Edo?"

"Delapan puluh persen, lah. Dari clue-nya jelas-jelas ngarah ke dia, Jan."

"Ah," aku tersentak ketika menyadari sesuatu. "Beberapa hari lalu gue sempet ketemu Kalea."

"Oh, jadi ketemu akhirnya?" Tari mulai membenarkan posisinya yang semula tiduran menjadi duduk dengan punggung bersender pada tembok, menatapku lurus yang juga tengah duduk di depan meja rias. "Ngobrol apa aja kalian?"

"Banyak, sih. Gue juga sempet nanya tentang orang yang deket sama dia. Nah, dia bilang kalo dia sempet deket sama kakak kelasnya waktu sekolah."

"Terus, terus?"

"Gue nyimpulin kalo salah satu kakak kelasnya itu tersangkanya. Makanya gue mau mastiin ke Kavi dulu buat nanya, Kak Edo kakak kelasnya pas sekolah dulu atau bukan."

Tari mengangguk. "Bagus, tuh. Kalo emang dia anak sana. Berarti sembilan puluh sembilan persen, Kak Edo pelakunya!"

Niatnya aku ingin menanyakan hal ini secara langsung dengan Kavi agar kami bertiga bisa diskusi lagi. Namun tampaknya ia sedang sibuk, mengingat beberapa waktu lalu aku sudah sempat mengiriminya pesan namun belum dijawab sampai sekarang.

"Mending omongin langsung, apa nanya di chat aja?" tanyaku pada Tari meminta pendapat.

"Mending omongin langsung, sih." Tari kembali tidur telentang di kasur. Beralih mengambil ponsel dan sibuk memainkannya. "Gak usah buru-buru, lah. Tunggu dia ngabarin duluan aja."

Meskipun Kavi tak meminta kami untuk cepat-cepat menemukan orang itu, tetap saja aku merasa harus menyelesaikannya sesegera mungkin. Aku tipe orang yang sangat pemikir bila sedang ada masalah atau ada hal yang harus diselesaikan. Justru kalau ditunda-tunda, kegiatanku yang terganggu.

"Gue pengen cepet-cepet selesai." Kutarik kaki Tari supaya agak bergeser, kemudian aku ikut tidur di sebelahnya. Sudah lama tak tidur di kasur seluas ini, mengingat kosanku hanya menyediakan single bed. "Gue jadi pengen pindah ke sini, Tar."

"Yaudah lo disini, gue di kos lo. Dipikir enak pulang pergi tiap hari ampe kaki keram gara-gara naik motor?"

Aku terbahak mendengar itu.

Cukup lama keheningan menguasai kami. Tari memang biasa diam ketika memainkan ponsel, sementara aku hanya melamun menatap langit-langit kamarnya.

"Radipta ngajak gue jalan berdua."

Bisa kurasakan pergerakan dari Tari. Ia melepas ponselnya dan menaruh atensi padaku.

"Terus lo mau?"

"Gue bilang gak tau."

"Udah gue duga." Ia berdecak, lalu kembali memainkan ponsel. "Kurang tegas lo. Kalo mau, ya, mau. Enggak, ya, enggak."

"Kalo di posisi gue juga, pasti lo susah mikir."

Pulang Habis KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang