11. Perasaan campur aduk di satu waktu

3.2K 401 95
                                    

Pameran pertamaku sukses!

Bisa kusimpulkan bahwa hari ini adalah hari terbahagia selama aku hidup di dunia. Aku berhasil mewujudkan mimpiku yang dari dulu sangat-sangat kunantikan-membuat pameran dan melelang karyaku sendiri.

"Pelan-pelan bisa, kan..." bisik Nayya membuatku tersenyum lebar padanya. Ku dongakkan kepala menahan tumpahan air mata yang sebentar lagi pasti akan bocor.

"Aku seneng banget, Nay,"

"Aku juga turut seneng."

Nayya memelukku sekejap, dan langsung menjauhkan badannya ke arah teman-temanku yang lain ketika melihat beberapa pria berjas datang menuju diriku.

Pemandangan yang beberapa tahun lalu kulihat di pameran milik Alin, kini akhirnya ku rasakan sendiri rasa antusiasnya.

•••

Terhitung sudah hampir lima jam aku bolak-balik di dalam gedung. Lelahku jadi tak terasa sama sekali karena melihat banyaknya penikmat seni yang datang ke pameran ini.

Tolong ingatkan aku untuk berterimakasih banyak-banyak pada Abi karena sudah menawarkanku untuk bergabung. Ah, juga dengan Tari yang tak gentar untuk memaksaku waktu itu.

"Udah sepi, nih. Sepuluh menit lagi close, kan?"

Aku mengangguk pada Oni yang baru saja datang dari luar gedung. Daritadi ia membantu Abi untuk menyelesaikan transaksi dengan pembeli lukisan. Sementara sisanya berjaga di dalam gedung.

"Abi gue telepon kok gak nyambung, ya?"

"Loh?" Alisku mengerut. "Bukannya daritadi lo ngurusin transaksi lelang sama dia?"

Oni menggeleng. "Gue cuma bantu mindahin barang aja. Yang hadapan langsung sama orang-orangnya, ya, si Abi."

"Guys, ada yang bisa hubungin Abi?" Tari datang seraya mengucap demikian. Membuatku dan Oni sontak menggeleng.

"Gue call dari sejam yang lalu juga gak nyambung. Terakhir dia bilang emang mau ngurusin transaksi lelang."

"Baru kali ini, dah, dia susah dihubungin..." lirih Tari membuatku meliriknya cemas.

Tak mungkin Abi melakukan hal yang kami takutkan, bukan?

"Ini udah pada bubar semua, kan? Kita close dulu aja, terus anak inti suruh kumpul semua di lantai dua."

•••

Tak berselang lama dari perintah Oni, kami semua sebagai anggota inti berkumpul di lantai dua, kecuali Abi tentu saja.

"Ini daritadi ada yang bisa hubungin Abi, gak?"

"Gue enggak." sahut Nindya. "Bukannya Abi daritadi sama lo, Nu?"

Oni berdecak. "Kita misah tadi. Dia cuma nyuruh gue bawain barang."

Suasana berubah jadi tegang. Semua sontak sibuk dengan ponsel sendiri. Beberapa menghubungi teman dekat Abi, sementara aku yang tak punya koneksi apa-apa dengan orang disekitarnya hanya bisa menunggu dan berharap cemas.

Namun setelah tiga puluh menit pun masih belum membuahkan hasil. Tak ada yang tahu kabar Abi. Kami juga susah menghubungi keluarganya karena Abi merupakan anak tunggal yang tak bisa kami cari tahu sosial media keluarganya. Satu-satunya jalan, ya, menghubungi pihak kampus.

Pulang Habis KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang