39. Hari kedua: Detak jantung di taman kota

1.4K 158 38
                                    

Halo guysss, long time no see huhu semoga kalian masih inget jalan cerita Dipta-Jana yaa, kalo lupa boleh banget baca ulang bab-bab sebelumnyaa 🤍

Oh iya, aku mau nanya (serius) kalo Dipta-Jana terbit, apakah kalian bakal tertarik buat beli versi bukunyaaa?? pls let me know yaaa hehehe, sampai bertemu di kabar baik nanti! 🙌🏻

•••

Hari ini merupakan hari kedua aku dan Radipta pergi berkencan. Kali ini aku meminta padanya untuk pergi ke tempat nyaman yang mana kami bisa bincang-bincang. Aku merasa ingin membagi dan menerima banyak hal kepada Radipta yang sebelumnya hanya bisa disimpan sendirian. Tentang kami berdua, hal-hal sulit yang kami hadapi, atau mungkin, masa lalu.

Kupikir persoalan terakhir adalah hal yang sensitif bagi sebagian orang. Perlu waktu banyak untuk aku berpikir, apakah tidak apa-apa kalau aku bertanya tentang keadaan orang disekitarnya yang ada di masa lalu itu?

Bukannya ingin mengungkit-ungkit, hanya saja aku ingin tahu dimana mereka berada atau bagaimana keadaannya. Siapapun, aku tidak pernah benci siapapun meski yang mengejar Radipta ketika di sekolah sampai tidak bisa ku kenali satu-satu.

"Kalau gue tanya tentang orang-orang di sekitar lo dulu, gak papa, Ta?"

Radipta membuka plastik berisi odeng dan topokki yang kami beli di minimarket korea seberang taman kota. Kami menggelar karpet kecil disini, mengingatkanku dengan momen ketika pergi ke taman kota di Bandung.

Angsa. Karcis. Vera dan Vero.

Aku meliriknya, kira-kira ia ingat tidak, ya?

"Tanya aja." katanya singkat seperti Radipta biasanya.

Aku mengulum bibir sebelum lanjut bicara. Mulai ragu dan mulai menerka-nerka dari ekspresi wajahnya. Ekspresi yang terlalu datar untuk ku analisa. Sulit ditebak.

"Mungkin tentang teman-teman lo."

"Heru?"

Aku mengangguk, kali ini sambil mengambil mangkuk odeng yang sudah ia siapkan lengkap dengan sendok garpunya. Setelah mengucap terima kasih, aku kembali membalas ucapannya soal topik tadi.

"Soal Heru, gue sering denger dari Nayya, sih. Dia masih sering curhat sampe sekarang." Aku tertawa rendah. "Tapi yang lain juga gue penasaran, bahkan gue gak tau mereka kuliah dimana?"

"Beberapa waktu itu ikut mandiri, ada yang gapyear juga. Temen gue yang gapyear keterima UNDIP."

Aku sontak melirik. "Lo nyesel?"

Radipta menggeleng. Masih dengan tatapan fokus ke mangkuk odengnya sendiri.

Aku tersenyum. "Lo kayaknya jarang nyesel sama masa lalu, ya?"

"Mau gimana lagi. Masa lalu gak bisa diulang." ucapnya kali ini dengan kalimat yang lumayan panjang. "Tapi gue beneran gak nyesel keluar dari sana. Udah
pernah bilang, kan, disini jauh lebih nyaman."

"Syukur kalo gitu."

Pikiranku kembali bekerja merangkai kata-kata untuk bertanya soal orang lain. Orang di masa lalunya. Atau, masa lalu kami.

"Kalau Glara, atau Alin? Gimana kabarnya?"

Aku tidak tahu apa yang Radipta pikirkan tentang pertanyaanku. Ia sempat menghentikan kegiatannya sejenak. Sebentar sekali. Tidak sampai satu detik mungkin. Tapi segala reaksinya sama sekali tak luput dari penglihatanku.

"Sorry kalo—"

"Glara seinget gue kerja. Alin kuliah swasta, di Bandung."

"Okay..." aku mengangguk-angguk.

Pulang Habis KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang