7. Melukis masa lalu

3.7K 468 52
                                    

Aku sudah pernah bilang bahwa hidupku sudah lebih baik, tapi nyatanya tetap banyak hal-hal yang dulu sama sekali tak ku perkirakan akan terjadi sekarang. Semakin dewasa, semakin banyak yang dikhawatirkan.

Dulu ketika sekolah rasanya santai sekali. Hari ini ya hari ini, mana ada memikirkan besok akan bagaimana. Berbanding terbalik dengan sekarang yang jangankan besok. Seminggu, sebulan, bahkan setahun lagi pun hampir tiap hari kupikirkan nanti akan jadi seperti apa.

Kata Kavi itu hal normal, ia juga sering menyarankan beberapa metode untuk mengalihkan pemikiran cemas tersebut yang bisa dicoba tanpa harus pergi ke profesional. Kadang juga ia mengirimkan kata-kata penenang yang mana memang kadang manjur selama beberapa saat.

Tari sering bilang padaku kalau aku beruntung bisa bersamanya. Dan itu seratus persen benar. Kavi sudah seperti rumah kedua yang bahkan lebih sering ku kunjungi untuk berkeluh kesah.

Aku anak tunggal, Papa-Mama sibuk bekerja meskipun mereka selalu memastikan anaknya baik-baik saja dan tak kekurangan apapun. Namun di sini aku merantau sendirian. Dulu kupikir ini akan mudah mengingat dari kecil pun memang aku terbiasa sendiri, ternyata rasanya jauh dari orang tua itu hal terburuk. Kalau dipikirkan pun aku bisa menangis semalaman karena rindu mereka.

"Semangat, ya. Jangan sedih-sedih, orang Mama baik-baik aja di sini. Kamu juga jaga kesehatan, jangan skip makan terus."

Beberapa hari kemarin, aku sempat dengar kabar kalau Mama tumbang dan harus infus di rumah sakit. Aku sebagai anak satu-satunya tentu khawatir luar biasa. Papa jarang bisa ambil cuti sehingga aku terus terpikirkan bagaimana kondisi Mama disaat tiada orang di sampingnya.

Namun syukur sekarang keadaannya sudah makin membaik. Pun minggu depan aku pulang dan bisa melihat keadaannya secara langsung.

"Ya udah, kamu istirahat juga sana. Mama tutup dulu, nanti kalau udah keluar dari rs Mama kabarin, ya, Nak."

Telepon tertutup seiring aku mengusap buliran air mata yang jatuh terakhir. Masih banyak tugas yang harus kukerjakan mengingat UAS sudah di depan mata, dan menyibukkan diri adalah kegiatan yang kuambil karena kata Kavi itu paling efektif untuk mengalihkan pikiran-pikiran buruk.

Omong-omong tentang Kavi, kami tak jadi berbincang via telepon karena Mama sudah lebih dulu meneleponku. Jadi kubilang padanya untuk kembali istirahat saja.

Ting!

Abi: Janlup besok dokumentasi ya.

Pesan dari grup anggota inti event pameran muncul di notifikasi ponselku. Baru saja berniat mengerjakan tugas sambil begadang, langsung teringat kalau besok harus kumpul pagi-pagi untuk membuat dokumentasi.

Nindya: Bawa apa aja, Bi?

Abi: Yang produksi bawa barang-barang buat ngelukis aja. Ntar kan pura-pura buat lukisan ceritanya.

Abi: Oh iya, gausah banyak-banyak. Satu divisi satu alat lukis biar nanti bisa satu frame di foto/video.

Ting!

Muncul lagi sebuah pesan, namun kali ini secara personal.

Radipta: Mau bagi-bagi barang?

Aku mengetik 'boleh' kemudian ia berinisiatif ingin membawa kanvas beserta penyangganya. Aku setuju karena kedua barang itu lumayan berat dan besar, agak ribet bila aku harus membawanya menggunakan ojek online.

Ting!

Pesan lain muncul dari Kavi.

Kavi: Besok aku free. Mau sekalian dianter?

Pulang Habis KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang