33. Terima kasih, ya!

3.2K 304 67
                                    

"Guys, gue percaya sama kalian. Kalo ada apa-apa, gue stand by di lantai dua. Kalo emang gue gak ada disana, spam telpon aja. Gak usah mikirin berapa banyak orang yang mau join. Acaranya selesai dengan lancar juga udah ngebuktiin kalo kita berhasil. Semangat, ya, semuanya!"

Arahan terakhir dari Kak Sashi sebelum pameran UKM dimulai pun berakhir. Kami semua berpencar ke tempat jaga masing-masing. Tak banyak karya yang terpajang, bahkan satu karya bisa dijaga dua sampai tiga orang. Namun aku kali ini tidak termasuk ke dalam tim jaga. Aku stay di depan gedung untuk menyambut mahasiswa-mahasiswa yang datang.

"Gue beneran dag-dig-dug pol. Ini belum ada yang dateng sama sekali?"

"Belum ada lima menit buka juga, Tar." sahutku menenangkan.

Padahal dalam hati juga panik. Tahun lalu, bahkan sebelum pameran dibuka pun, sudah banyak mahasiswa yang menunggu di depan pintu. Agaknya kasus kemarin banyak berdampak bagi UKM kami.

"Emang Kak Angka tai! Nyusahin hidup orang aje."

Aku menggelengkan kepala mendengar umpatan Tari. Percuma mengumpatinya sampai mulut berbusa meski aku juga kesal bukan main, toh keadaan tidak bisa berubah. Kak Sashi pun bilang kalau sekarang kita hanya bisa melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan nama baik UKM Seni.

"Gue udah broadcast semua kontak buat dateng ke sini. Awas aja kalo dari mereka gak ada yang dateng sama sekali."

"Pasti ada, lah." balasku seraya mengipas-ngipas wajah dengan beberapa lembar brosur.

Cukup lama kami menunggu orang yang datang. Lalu sekitar lima belas menit kemudian, ada segerombol orang—yang kupikir adalah anak seangkatan kami—yang datang. Aku dan Tari sontak berpandangan, bukan dengan tatapan senang, melainkan tegang. Karena wajah mereka semua terlihat serius yang mana kami takut kalau mereka ternyata ingin mendemo UKM ini.

Mungkin terdengar tidak masuk akal. Namun tadi Kak Aro—salah satu anggota inti UKM Seni—mengatakan bahwa memang ada beberapa teman sekelasnya yang menyarankan UKM Seni untuk bubar saja karena namanya sudah terlanjur jelek. Namun Kak Sashi mengelak. Untuk apa dibubarkan, yang berbuat hanya oknum di UKM kami, katanya.

Aku juga setuju dengan pernyataan Kak Sashi. Sebaiknya musnah saja orang-orang dengan pemikiran pendek yang suka menyamaratakan seperti itu. Kak Angka memang berperan banyak di UKM kami, anggaplah seperti tangan kanan Kak Sashi. Namun kelakuannya di luar UKM ataupun di luar kampus bukanlah tanggung jawab kami.

"Eh, eh! Ini pada mau ngapain? Kita cuma ngadain pameran buat promosi UKM, ya. Kalo mau demo-demo gak jelas mending pergi aja."

Beberapa mahasiswa tersebut pun malah saling berpandangan satu sama lain ketika Tari menyampaikan kalimatnya. Membuat kami jadi sama-sama kebingungan.

"Ini pameran UKM Seni, kan?"

Aku dan Tari mengangguk serempak.

"Yaudah, kita mau masuk buat liat-liat. Perlu nunjukkin KTM?"

Mata Tari membola. Sementara aku mengulum senyum seraya mengangguk. "Oh! Iya boleh masuk, harus tunjukkin KTM dulu, ya." Aku mengarahkan mereka ke meja registrasi. Kulihat Tari masih mematung di tempatnya, perlu kupanggil tiga kali sampai ia sadar.

"Kalian ngadain pameran apa sedekah, deh?"

Pertanyaan dari salah satu rombongan tersebut membuatku menaikkan alis.

"Sedekah gimana maksudnya?"

"Loh, bukannya yang kesini bakalan dapet voucher 50% semua menu di Kafe Lotus, ya?"

Astaga kabar dari mana itu?!

"Lo tau, Tar?" bisikku pada Tari yang mendapatkan gelengan kepala darinya.

Pulang Habis KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang