Part ini agak dikit huhu, semoga kalian tetep enjoy, ya!
•••
Aku membanting badan di kasur dengan posisi terlentang seraya mengangkat ponsel ke atas wajah. Memandang deretan chat dari Kavi yang penuh selayar berisi beberapa penjelasan sampai permintaan maaf.
Pertama, ia bilang ia tak bisa ikut pergi ke Bandung ketika libur semester nanti karena katanya Lita mulai drop lagi. Aku tak mempersalahkan soal itu karena tentu keluarga adalah prioritas utama. Namun yang kedua, ia juga tak bisa mengambil fotoku dan Radipta untuk tambahan foto event. Yang itu tak kuketahui apa alasannya. Ketika kutanyakan hari apa saja ia kosong untuk menyesuaikan jadwal kami, ia bilang sebaiknya foto studio saja karena akan lama bila menunggunya ada jadwal.
Kenapa Kavi jadi tampak se-menyebalkan ini?
Biasanya aku akan membalas pesannya secara panjang juga agar masalah kami dan perasaan gondok kami terhadap satu sama lain cepat hilang. Tapi karena hari ini rasanya lelah sekali, jadi tak kubalas dulu pesannya. Nanti saja tunggu emosiku reda supaya bisa berpikir jernih dan masalah cepat selesai seperti sebelum-sebelumnya.
"Gue gak nyangka, sumpah. Kayak, lo?? sama Radipta?? Kok bisa?!"
Aku melempar ponsel ke sisi kanan kasur dan menenggelamkan wajah di sela-sela bantal. Menganggap omongan Tari barusan hanya angin lalu karena sekarang aku mulai menyesal sudah menceritakan semua hal tentang Radipta termasuk hubungan kami dulu padanya.
Tari berhasil menekan diriku untuk mengeluarkan itu, tampaknya setelah ini aku benar-benar harus menjadi orang yang tegas dan tak mudah luluh dengan permintaan orang lain.
"Gue bener-bener gak ekspek, sih. Tapi lo beneran udah b aja, kan, Jan? Pas ketemu perasaan lo gimana? Ni bukan kenapa-kenapa, ya. Cuma tadi pas cerita aja mata lo sampe berkaca-kaca. Kalo lo sedih karena keinget lo yang dulu, ya, gak masalah, sih. Tapi jangan sampe lo nangis gara-gara lo masih demen sama dia."
"Gue gak sejahat itu kali, Tar..."
"Ya mungkin lo juga gak ngira bakal ketemu lagi kali, ya..." Tari menoel-noel jempol kakiku iseng. "Pantesan lo kayak kaget banget pas pertama kali ketemu dia."
Aku tak tahu apakah dengan tahunya Tari soal kami itu akan berdampak baik atau malah jadi buruk. Tapi kupikir ia perlu tahu, karena takut suatu saat aku jadi lupa diri dan malah melakukan hal-hal yang termasuk dalam kata 'jahat' tadi. Dengan tahunya Tari soal kami, pasti ia bisa mengingatkanku agar itu tak terjadi, kan?
"He was my first love, Tar."
"Hmm iya, gue bisa ngerasain seberapa besar rasa suka lo dulu, sih."
Aku membalikkan tubuh, menatapnya yang kini juga menatapku seakan prihatin, mengingatkan dengan ekspresi teman-temanku dulu ketika pertama kali bertemu sehabis aku menceritakan bagaimana perpisahan aku dan Radipta malam itu.
Padahal aku sudah berjanji dengan diri sendiri agar tak merasakan situasi ini lagi.
"Tapi gue super happy sekarang. Past is still always be past, kan?"
"Setuju. Masalahnya ini orang di masa lalu lo dateng lagi. He also move into your life now. Dan lo hampir setiap hari harus berhubungan sama dia."
Aku menggeleng. "Event selesai, kita gak bakal ketemu lagi."
"Menurut gue lo masih labil, sih. Mungkin semua hal yang ada di sekitar lo sekarang udah bikin lo ke distract dan lupa sama masa lalu. Tapi lo gak nyoba buat sembuh dan berdamai dengan itu." Tari menatap beberapa lukisan yang kuambil dari tumpukan kardus ketika menceritakan tentang Radipta tadi. "Ada pilihan supaya kalian tetep bisa interaksi dengan semestinya. Be a friend. Kalian bisa pilih jadi temen aja, kan? Bukannya itu yang dulu Radipta mau? Kalo lo udah gak punya perasaan apa-apa buat dia, harusnya lo bisa dengan gampang buat turutin keinginannya itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang Habis Kelana
Teen Fiction[Bagian kedua dari kisah Satu Cerita Untuk Kamu] Semuanya mereda dan berjalan semestinya, hingga Renjana bertemu Kavi Yogaswara. Lelaki dengan segala kebaikannya. Kavi punya semua, apapun yang Renjana butuhkan. Menjadikan keduanya saling mengagumi d...