20. Benar-benar berakhir?

2.5K 366 121
                                    

Bodoh, bodoh, bodoh.

Aku berulang kali mengetuk kepala dengan pulpen. Sudah hampir sejam aku hanya diam di meja belajar, memandang kertas kosong yang harusnya sekarang sudah penuh dengan hasil coretan untuk tugas yang akan dikumpulkan besok.

Otakku beku seketika. Tak ada ide yang muncul disaat genting seperti ini.

"Jana?"

Aku berdecak keras. Menyingkirkan kertas sketchbook dan beralih mengambil ponsel. Sepertinya aku harus membuka sosial media atau saling mengirim pesan pada seseorang agar pikiran kembali fresh dan ide bisa datang.

Bukannya malah memikirkan kejadian di minimarket beberapa hari lalu.

Aku membuka salah satu aplikasi dan menggulir layar ke bawah untuk melihat postingan orang-orang, namun bukannya teralihkan, justru aku semakin terngiang-ngiang dengan kejadian itu.

Akan kuceritakan keadaannya setelah Radipta membuka pintu minimarket lebar-lebar yang membuat semua orang di sekitar kasir menoleh pada kami.

Waktu itu, Kavi dan seorang perempuan yang kuduga adalah Kalea juga menatap kami. Kavi terkejut memandangku dan mungkin tanpa sadar memanggil namaku, sementara Kalea hanya diam dengan wajah kebingungan-atau wajah panik? Aku sulit mendeskripsikan karena aku sendiri juga panik waktu itu.

Seperti aku yang dipergoki, padahal tentu saja aku yang memergoki mereka.

Bodohnya adalah, aku langsung menarik Radipta untuk keluar dari minimarket dan kembali ke parkiran.

Aku sama sekali tak bisa berpikir waktu itu. Yang pasti aku merasa shock dan belum siap untuk mengetahui kebenarannya. Oleh karena itu, aku lebih memilih untuk menghindar saja.

Bohong kalau kubilang aku tak berharap Kavi mengejar, tentu saja aku berharap demikian! Namun nyatanya ia tak melakukan itu.

Aku cukup lama menjelaskan kejadian itu pada Tari di parkiran, dan selama itu, tak kulihat sedikitpun ujung kaki Kavi yang setidaknya menghampiriku.

"Lo kenapa pergi, Na? Samperin aja."

"Gak mau... gue takut."

Wajar, kan, kalau aku takut? Dengan dihadapkan posisi seperti itu, tentu saja sangat memancing kecurigaanku.

Bagaimana kalau ternyata mereka sudah lama menjalin hubungan dan justru aku yang menjadi selingkuhan? Mau ditaruh mana wajahku kalau tiba-tiba ia ku labrak seenak jidat.

Untungnya Tari mengerti posisiku, ia langsung mengajakku dan menyuruh Radipta untuk pulang dulu saja. Soal ini bisa dibicarakan nanti apabila sudah tenang.

Tapi sampai sekarang, aku masih belum menemukan keberanian untuk mengirimi Kavi pesan dan bertanya soal kejadian itu meski Tari sudah memaksa. Aku merasa bahwa harusnya kalau ia merasa bersalah, ia yang menjelaskan tanpa perlu ku minta.

Justru tak ada tindakan sama sekali darinya. Seolah membiarkanku untuk berpikir yang tidak-tidak.

Ting!

Tari: besok gue udah masuk kuliah. semoga aja gak kambuh lagi.

Omong-omong, Tari dari dua hari kemarin sedang demam, dan selama dua hari juga ia absen. Membuatku lumayan kesepian mengingat teman akrabku hanya dia seorang.

emang udah sembuh?

Tari: sembuh-sembuhin aja. masa iya gue gak ngumpulin tugas.

Ah, jadi ingat kalau tugasku belum rampung.

Aku mematikan layar ponsel dan kembali mengambil sketchbook. Memaksa otak berpikir sambil mengarsir di kertas secara acak.

Pulang Habis KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang