15. Cimory pembawa senyuman

2.3K 360 224
                                    

Dari sejauh hubungan kami berjalan, ini adalah pertama kalinya masalah kami melibatkan orang lain.

Mungkin karena sedari awal Kavi selalu memperlakukanku selayaknya emas berharga, aku selalu berpikir kalau ia memang orang yang tepat dan tak akan tega melakukan hal yang dibenci pasangannya-seperti perselingkuhan.

Ah, memikirkannya saja aku masih tak menyangka. Apalagi kalau hal itu benar-benar terjadi, bisa-bisa pingsan.

Namun masih ada setitik harapan dalam diriku yang berkata bahwa Kavi tak mungkin melakukan itu setelah ia memberi dan melakukan berbagai hal manis padaku.

Baik di depan, belum tentu baik di belakang.

Sebuah utasan tentang perselingkuhan seorang artis lewat di beranda twitter-ku. Dengan segera, kumatikan layar ponsel dan membuangnya sembarang arah di sekitar kasur.

Makin gundah jadinya.

Ting!

Meski kesal, aku tetap berharap Kavi mengabari untuk setidaknya memberi kejelasan singkat di chat. Namun pesan yang ia kirim justru sukses membuatku ingin membanting ponsel.

Kavi: hari ini aku ternyata ada janji, maaf ya kita gak jadi ketemu dulu.

•••

"Apa kita selidikin dulu aja, ya?"

"Selidikin gimana?"

"Kita tanya soal Kalea-Kalea itu lewat Nindya. Kalau udah jelas dia ada hubungan apa sama Kavi, kan, lo jadi gak salah langkah buat nyikapin hubungan kalian."

Aku mengangguk-angguk. Memikirkan ulang saran dari Tari.

"Tapi gue takut asli."

"Firasat gue, sih, dia bukan siapa-siapa." Tari berpendapat. "Walaupun lo pacaran sama Kavi, gimana pun juga, gue kenal dia duluan, Jan. Kavi bener-bener pure anak baik-baik kata temen-temennya juga."

"Lo juga bilang gini pas gue tanya soal Abi."

"Ya itu beda, dong!" serunya. "Gue udah kenal Kavi dari pas kita masih jadi maba. Si Abi, kan, baru."

Aku bergumam rendah sebagai tanggapan. Mau berpikir se-positif apapun, tetap saja yang terlintas di kepalaku hanya dugaan-dugaan buruk.

"Kalo lo mau, nanti gue chat Nindya dulu."

"Berarti kita harus cerita ke dia, dong?"

Tari mengangkat kedua bahu. "Ya, mau gak mau."

Lagi-lagi, aku diam untuk berpikir. Sebenarnya aku paling tidak suka apabila masalah dalam hubungan seperti ini dibicarakan dengan orang lain, pun Tari juga jarang mendengar curhatanku ketika aku tengah kesal dengan Kavi.

Tapi mungkin yang sekarang kuhadapi bukan masalah sederhana sebatas kesal lagi.

Terhitung sudah hampir dua minggu aku tak bertemu dengannya, dan ia selalu berkata ada urusan di waktu tepat ketika kami ingin pergi hari itu juga.

Harusnya kalau memang ada urusan kuliah atau pekerjaan, bukannya sudah di-schedule beberapa hari bahkan beberapa minggu sebelumnya?

"Oke deh, kita minta tolong Nindya aja."

"Oke, wait gue kabarin dia." Ia melirikku. "Suruh ketemu langsung aja kali, ya? Biar enak ngomongnya."

Pulang Habis KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang