13. Siapa itu Kalea?

2.8K 378 56
                                    

Bugh!

"Bajingan!"

Bugh!

"Tai! Babi! Monyet!"

Bugh!

"An-"

"Tar!"

Tari menoleh dengan keadaan diri terengah-engah, ia mengelap peluh yang ada di dahinya seraya bernafas putus-putus. Aku menggelengkan kepala, menyuruhnya melepaskan sarung tinju yang ia kenakan dengan gerakan mata karena dari tadi sudah bicara seribu kali pun ia tak mau berhenti.

"Gue belum puas, Jan."

"Mau lo tinju sampe bolong juga, tuh samsak gak bakal berubah jadi Abi, Tar..."

"Gue gak peduli," ia kembali membalikkan badan, meninju ringan samsak yang tiba-tiba ada di kamarnya untuk aba-aba. "Gue cuma butuh pelampiasan! Itu uang tabungan buat nambahin UKT gue anjir! Babi banget Abi!"

Bugh!

Aku berdecak. "Gue ada cerita, nih,"

Jurus berhasil. Tari sontak kembali menoleh. Ia melepas sarung tinjunya, melempar ke udara dengan sembarangan, lalu menghampiriku yang tengah telungkup di atas kasur.

"Cerita apa? Kavi? Radipta? Temen-temen lo?" tanyanya antusias dengan senyum penasaran.

Kemana hilangnya emosi menggebu-gebu tadi?

"Iya, Radipta."

"Ah, lo bilang kek dari tadi. Gue udah capek ninju-ninju gituan." Tari memposisikan diri telungkup di sampingku, lalu menopang dagu. "Emosi gue juga bisa reda kalo denger cerita orang. Jadi gimana?"

Aku menghela nafas berat. "Waktu rabu kemarin, dia minta maaf. Katanya gak seharusnya dia ngomong kayak gitu. Terus gue turutin saran dari Kavi." Aku menoleh padanya. "Gue ngajak dia temenan. Salah, gak, sih?"

"Hmm... Sejauh ini gue gak pernah ngerasa saran dari Kavi bikin lo salah ambil langkah. Walaupun gue sendiri kurang sreg kalo kalian jadi temen, tapi kayaknya itu udah keputusan terbaik."

"Gue juga kurang sreg awalnya," aku berpikir sejenak. "Apa karena Kavi tipe yang pemaaf gitu, ya? Seinget gue juga, dia selalu putus baik-baik sama mantannya. Bahkan ada juga yang sampe sekarang temenan sama gue."

Tari mengangguk. "Kavi, tuh, kayak gak punya musuh, anjir. Ya untung deh, lo, dapet modelan kayak gitu."

"Iya, sih. Tapi yang gue penasaran, emangnya dia gak takut gitu, ya? Kek bisa dengan santainya nyuruh gue temenan aja." Pikiran buruk mulai melintas. "Apa dia sebenernya gak peduli juga ya, Tar? Udah bosen sama gue, jadi bodo amat gitu?"

"Hush! Lo apaan, sih? Jangan mikir gitu, lah. Lo tau sendiri Kavi sebaik dan se-legowo apa kalo ada masalah. Dia juga mungkin udah mikirin itu berulang kali, Jan, sebelum akhirnya bisa nyuruh kalian temenan."

Benar juga perkataan Tari. Aku tahu Kavi memang sebaik itu, tapi tetap saja aku tak tenang. Cemburu itu normal, tapi Kavi sepertinya sangat jarang merasakan itu. Membuatku terus bertanya-tanya dengan perasaannya.

"Lo kalo ragu mending obrolin aja sama Kavi. Gue yakin, sih, dia gak sejahat itu."

Aku mengangguk-angguk.

"Terus tanggepannya Radipta pas lo ajak temenan gimana?"

"Ya... seneng mungkin? Reaksinya sih senyum gitu."

Tari cemberut. "Gue jadi kasian, deh, sama dia."

Aku meliriknya tajam. "Lo jangan bikin gue ngerasa bersalah, dong."

Pulang Habis KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang