17. Apa lebih baik putus saja?

2.5K 359 229
                                    

"Sehat, kan, disana?"

"He'em."

"Kok kayak sembab gitu matanya?"

"Nangisin tugas."

"Jangan terlalu dipikirin banget... Kerjain sebisanya kamu aja."

"Iya, Ma..." Aku mengusap kedua mata dengan punggung tangan. "Ya udah, aku mau siap-siap kelas dulu."

"Oke. Jaga kesehatan ya, Nak. Mama tutup teleponnya."

Aku mengangguk dengan senyum tipis sebelum sambungan video call dari Mama dimatikan. Ku hembuskan nafas panjang seraya bangkit dari kasur. Kini memandang wajahku sendiri di kaca. Aku berdecak. Miris sekali kalau orang-orang melihat mataku yang seperti habis ditonjok ini.

Mata kuliah hari ini berbanding terbalik dengan kemarin. Jadwalku full dari jam sembilan pagi sampai jam empat sore, yang mana hal itu sangat kusesali. Padahal aku ingin menghabiskan waktu untuk mengurung diri di kamar walaupun mungkin kegiatanku hanya menangis-tidur-menangis-tidur.

Berbagai notifikasi muncul di layar ponselku. Paling atas tentu saja ada pesan dari Tari yang sejak malam tak kubalas. Tadinya ia khawatir dan ingin menginap disini, namun karena aku mengatakan sedang ingin sendiri, akhirnya ia pulang ke rumah dan menitip banyak petuah supaya aku tak melakukan hal-hal aneh.

Tari: jan, masih idup kan lo?

Aku mendengus geli memandang chat terakhir darinya yang dikirim lima belas menit lalu.

Ada-ada saja. Se-sedih apapun, tetap saja otakku masih waras untuk tidak melakukan hal tak berguna yang membahayakan diri sendiri.

Kubalas pesannya dan berkata bahwa aku akan pergi ke kampus lima menit sebelum jam kelas pertama dimulai.

Tari: loh, lo masuk? kirain mau bolos.

Awalnya juga ingin begitu, karena tentu saja sepertinya percuma kalau aku masuk tapi tak fokus di kelas. Namun aku tak ingin absen dan juga tak ingin terlalu memikirkan masalah ini berlarut-larut, jadi kuharap kesibukan bisa membuat pikiranku teralihkan. Lagipula tak ada yang bisa kulakukan, selain menunggu kabar dari Kavi lagi.

Ah, tentangnya, ternyata banyak pesan masuk juga darinya yang pada intinya ia hanya meminta maaf.

Namun ketika melihat pesan-pesan tersebut, aku justru makin kesal. Jadi sengaja hanya kubaca saja tanpa ada niatan untuk membalas satu kata pun.

Ku matikan layar ponsel lalu bergegas mengambil handuk untuk mandi.

Untuk saat ini, kumohon pada diriku agar berpura-pura tak ada masalah seperti biasanya, untuk yang ke-sekian kalinya.

•••

"Jadi mau gimana?"

"Gimana apanya?"

"Lo tetep mau cari tau soal, tuh, cewek?"

Aku menggeleng. "Tunggu info dari Radipta aja, lah. Pusing gue."

Tari menghela nafas panjang, memandangku prihatin seraya memegang rambutku yang tadi pagi tak sempat ku catok karena buru-buru.

"Ya udah kalo mau gitu. Gue cuma bisa bantu semangatin." Ia menepuk-nepuk bahunya sendiri. "Nih, bahu gue siap buat nampung tangisan lo lagi kayak semalem, kalo lo belum puas."

Aku terkekeh miris. "Telat, ah, lo. Bantal gue udah jadi pengganti bahu lo semalem."

"Cih, udah bisa ketawa," ledeknya. "Bagus, deh. Gak usah dipikirin amat. Lo harus tegas."

Pulang Habis KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang