38. Rumahnya Datang.

3.9K 377 49
                                    

Tetap dukung kisah mereka dengan cara vote dan komen seikhlasnya, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tetap dukung kisah mereka dengan cara vote dan komen seikhlasnya, ya. Boleh juga share cerita ini ke temen kalian kalau suka dan jika berkenan silakan follow akunku.

Terima kasih dan selamat membaca.

___________________

Ozge sudah sangat sering mendengar celotehan Riza yang kadang bukan lagi seperti seorang psikolog dengan pasiennya, tapi nyaris seperti seorang kakak yang sedang memarahi adiknya.

Hari ini pria mapan yang masih senang dengan status lajangnya mengatakan akan pulang ke rumah orang tuanya di Bali. Bukan terkejut karena keputusan Riza, hanya saja mengingat kondisinya masih belum banyak kemajuan, Ozge merasa hanya pria itu satu-satunya orang yang bisa ia ajak bicara leluasa.

Ozge bisa melakukan hal itu dengan ayahnya, tapi karena tidak ingin membuat pria tua itu khawatir kadang ia banyak memilah hal apa saja yang harus ia bicarakan dengan pria yang sudah mau mengurusnya dari kecil.

Sekarang setelah dua hari keluar dari rumah sakit, Ozge sedang mendengarkan beberapa petuah yang digaungkan Riza sebelum pria itu benar-benar pergi.

"Aku tahu," balas Ozge sembari mendesah kasar. "Pergilah, kamu tambah berisik akhir-akhir ini."

Dengkusan kasar yang keluar dari mulut Riza menjawab gerutuan pria yang sedang duduk di sofa dekat jendela. "Aku sudah berisik sejak pertama kali menjadi psikologmu, kenapa baru hari ini kamu mengatakannya?"

Mungkin inilah alasan kenapa Pak Gandhira memilih Riza. Meski usia mereka terpaut jauh, cara Riza yang kadang menempatkan Ozge sebagai teman bukan pasien membuat hubungan itu berjalan lebih santai. Walaupun banyak momen di mana Riza harus mengambil risiko untuk keputusannya.

"Kapan kamu kembali?"

"Sudah kubilang tidak tahu, Ibuku sedang mencari wanita untukku di sana—"

"Kamu akan menikah?"

Riza terkekeh. Ia masih dalam posisi awal, berdiri di samping sofa yang diduduki Ozge. "Belum tentu, ini perjodohan yang kelima. Biasanya wanita yang dikenalkan ibuku yang menyerah."

"Aku tahu alasannya, itu pasti karena kamu pria yang banyak bicara."

Riza hanya mengangkat bahu tak acuh saja. "Omong-omong bagaimana dengan tidurmu? Sudah dua hari keluar dari rumah sakit, apa masih sama?"

"Sudah lebih baik. Meskipun waktu tidurku masih kacau, tapi aku bersyukur bayangan itu sudah tak datang lagi."

"Tapi kenapa masih muntah setiap pagi dan mengonsumsi obat penenang?" Riza jatuhkan tatapan pada pria yang baru saja berpaling. "Ada apa? Aku tahu dari Mbak Lila, kamu sering turun tengah malam tanpa melakukan apa-apa."

"Entahlah. Mungkin itu efek obat, jadwal tidurku yang sebenarnya jadi benar-benar kacau."

"Bukan." Riza menimpali santai seolah apa pun yang keluar dari mulutnya adalah hal yang tak perlu diragukan lagi. "Ada hal lain yang menggangu, jika benar mimpi itu tidak datang lagi hal lain apa yang membuatmu harus mengonsumsi obat tidur dan berlari ke kamar mandi setiap pagi? Jangan membuat lelucon kalau kamu sedang hamil, Ozge!"

Let's Fall In Love!✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang