47. Apa Masih Kabar Buruk?

3.2K 308 55
                                    

Tetap dukung kisah mereka dengan cara vote dan komen seikhlasnya, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tetap dukung kisah mereka dengan cara vote dan komen seikhlasnya, ya.

Terima kasih dan selamat membaca.

__________________

"Apa aku keterlaluan, Ozge?"

"Soal apa?"

"Perkataanku pada Ares." Sambil mengembuskan napas kasar, Migel kian erat memeluk tubuh pria yang sejak tadi mengusap punggungnya di atas tempat tidur. "Aku dulu membencinya sama seperti aku membenci ayahnya, tapi makin dewasa aku tahu Ares juga korban yang sama. Saat remaja, aku beberapa kali memergokinya menangis di depan lemari kaca yang menyimpan mainan dan beberapa kado ulang tahun dari Mama. Dia juga kesepian, Ozge."

"Tidak apa-apa, aku yakin Ares tahu bagaimana sifatmu. Kejadian di butik tidak akan membuatnya marah besar."

Mendongak menatap wajah Ozge, Migel menatap penuh rasa syukur karena Tuhan mengirim pria yang datang lengkap dengan kesabaran dan pengertian luar biasa.

"Migel."

"Ya."

"Tadi pagi sebelum ke kantor aku pergi menjenguk Ayah. Kamu benar-benar tidak ingin menemuinya?"

Kembali mendesah kasar, Migel yang hendak berbalik memunggungi Ozge sedikit terkejut saat tangan pria itu menahan pinggangnya.

"Ozge—"

"Aku mengerti." Ozge beringsut menyejajarkan wajah dengan iras cantik sang istri. "Kamu tahu kan, puluhan tahun aku hidup dengan trauma. Banyak rasa takut yang sering membuatku ingin menyerah."

"Kamu sudah sembuh, Ozge."

"Ya, aku tahu. Aku sudah sembuh karena dirimu. Tapi ada hal yang ingin kubagikan denganmu, perasaan damai. Aku bukan hanya sembuh tapi bisa berdamai dengan masa lalu yang membuatku muak. Saat itu aku selalu berpikir kenapa hanya aku bocah yang diseret ke gudang."

"Ozge—"

"Kamu tidak lelah hidup dalam kebencian?"

"Tidak!" balas Migel keras kepala. "Aku akan terus membencinya. Dia yang membuatku seperti ini, Ozge."

"Dan kamu terus menurutinya." Ozge menarik napas panjang setelah berujar demikian. Ia tahu, wanita di atas tempat tidurnya adalah wanita yang hatinya sekeras batu karang. "Jika terus membencinya, apa yang kamu dapat? Kebahagiaan? Menurutmu, apa Mama akan berkata terima kasih?"

Mengusap pipi Migel saat air muka wanita itu berubah muram, Ozge tersenyum sebelum mendaratkan kecupan di kening yang tak terhalang rambut. "Waktu terus berlalu, kan? Bahkan perlahan habis tanpa kita sadari. Setiap hari kita tidak pernah tahu dengan hal yang akan terjadi. Entah itu hal yang menyenangkan atau menyedihkan."

"Aku masih membencinya, Ozge."

Ozge kembali beringsut membawa Migel ke pelukan. Ia mengusap kepala wanita itu sampai ke tulang punggung, menarik napas tak kentara mendengar suara Migel mulai bergetar saat bicara.

Let's Fall In Love!✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang