34. Curtain

94 7 0
                                    

Long time no see Rosie.

Sebuah kata sederhana yang cukup mengetarkan hati Rosie.

Bagaimana tidak membuat hatinya bergetar. Saat Rosie dengan begitu jelas melihat pantulan dirinya, atau lebih tepat melihat dirinya yang lain tengah menyapa seperti kawan lama.

Rosie terdiam saat ia merasa bahwa udara di sekiranya mulai mencekiknya hingga membuat semua kerja organnya berhenti.

Sosok di depannya tidak menyeramkan seperti yang ada di film.

Itu sosok yang begitu cantik, anggun dan terlihat lembut. Tapi entah bagaimana Rosie sangat amat takut jika sosok itu sudah menampakan hujudnya.

Ini bukan pertanda baik.

Iya, Rosie benar. Ini bukan pertanda baik. Saat sosok manis itu mulai mendekat.

Rosie tanpa sadar memundurkan dirinya secara teratur saat sosok kecil dan cantik itu mulai mendekat ke arahnya dengan senyuman penuh arti.

Rosie terus mundur hingga pada akhirnya dia terjatuh karena tidak kuasa mengendalikan dirinya sendiri.

Rosie terdiam. Begitu juga sosok di depannya.

Mereka saling memandang cukup lama hingga akhirnya Rosie mulai memberanikan dirinya.

"Kau..."

"Hum..." Rosie menghela nafas saat sosok didepannya membalas perkataannya hanya dengan gumaman.

Namun Rosie tidak menyerah saat mendapat tanggapan datar dari sosok di depannya.

"Rosè. Itu kau..." Sosok kecil itu terdiam dengan wajah dingin saat Rosie memangil namanya.

Melihat Rosie dengan seksama sosok itu pun akhirnya dia menganguk.

Benar, dia adalah Rosè. Sosok kecil yang paling di takuti oleh Rosie.

"Kau lupa denganku Rosie." Rosie memejamkan matanya dalam. Saat dia bisa mendengar suara kecil yang begitu dingin dan sukses menusuk hatinya yang paling dalam. Hingga tanpa sadar suara itu membuat sekujur tubuhnya bergetar.

Mana mungkin aku melupakanmu.

Kemunculanmu adalah kegagalan terbesar dalam hidupku.

"Kau masih menyalahkanku Rosie." Rosie mengangkat wajahnya.

Dia melupakan satu fakta.

"Aku bisa mendengar suara hatimu. Apa kau lupa saat kita bertemu. Kita tidak bicara dari mulut ke mulut. Namun dari hati ke hati?" Rosie tentu tahu. Hanya saja dia melupakan fakta itu.

Rosie tersenyum dalam diam, saat detik kemudian dia mengangkat wajahnya. "Sekarang apalagi?" Rosè tersenyum. "Kau selalu bersikap apatis kepadaku Rosie." Rosie tersenyum penuh arti. Lalu membuang muka.

Bagaimana dia tidak bersikap apatis kepada alter ego-nya. Jika saat dia tersadar. Semua yang di lakukan alter egonya pasti menambah beban hidupnya. Tidak pernah sekalipun saat mereka berganti tempat Rosè tidak membuat masalah yang selalu membuat Rosie sakit kepala.

Tidak pernah sekalipun Rosè membuat sesuatu yang baik untuk keduanya.

Dan Rosie tahu itu dia tidak bisa berbuat banyak jika Rosè mau mengambil alih tubuhnya.

Jadi dia hanya bisa mengigit bibirnya sebentar sebelum akhirnya menoleh dengan tatapan penuh dendam.

"Aku membencimu." Rosie mengungkapkan isi hatinya tanpa sadar. Membuat sosok kecil di hadapannya semakin menatap Rosie datar dan dingin.

We Are Her MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang