04. Jus Mangga

3.3K 406 56
                                    

Terlambat, sebelum aku sampai di gerbang mansion, Dio telah mengebut pulang dengan motor balapnya.

Ia menaruh buket bunganya di depan pagar raksasa mansion papa.

Hatiku ikut tersayat melihat ini, Dio pasti kecewa, tak berbeda denganku.

Tak terasa kini bulan sudah ada di puncaknya, tapi Dio sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda online.

Aku sudah menghubunginya puluhan kali, tapi ponselnya tak bisa dijangkau.

Netraku beralih menatap bingkai foto kami berdua yang sedang mengikuti volunteer di masa SMA.

Jika ingin tahu sejarah singkat bagaimana hubungan ini dimulai, kami bersekolah dan bertemu di SMA yang sama. Dio lebih tua setahun dariku, kami punya visi yang mirip, yaitu memilih menjadi relawan untuk membantu anak-anak kurang mampu. Kami sering mengikuti volunteer ketika SMA, kemudian berakhir cinlok.

Setelah lulus SMA, Dio mengenalkanku pada mamanya. Tidak kusangka, tante Talia adalah pemilik sebuah panti asuhan kecil di Jakarta.

Selama tiga setengah tahun, Dio bekerja paruh-waktu, ia kuliah Manajemen di UI sambil belajar memanajemen panti asuhan. Sedangkan aku ditunjuk tante Talia menjadi pengajar anak-anak. Kami berdua mengurus mereka seperti adik kami sendiri, dan kalau kata Dio, simulasi jadi orangtua.

***

Walau pacarku itu tidak ada kabar, hidup harus tetap berjalan. Hari ini panti asuhan kedatangan tamu istimewa. Bahkan tante Talia juga hadir, apakah dia tahu kalau kemarin putranya melamarku?

Tidak, berdasarkan raut wajahnya, wanita itu tidak sama sekali menunjukkan raut hambar. Senyum ramah terukir di bibir tipisnya, menyambut ketua umum yayasan Harsa Sagara yang memasuki ruangan.

"Selamat datang, Bu Diah." sapa Talia, menawarkan telapak tangan terbuka.

"Terima kasih, bu" sapa wanita cantik dengan outfit dominan putih itu.

"Ini Kiran, salah satu guru anak-anak." tante Talia mendaratkan tangan halus di pundakku.

"Selamat pagi, bu. Perkenalkan, saya Kiran Adhisty Bianca." sapaku sopan. Lalu menyalimi canggung tangan halus nan wangi wanita elegan itu.

"Kiran?" Diah mendelikkan mata.

"Anaknya pak Eric?" lanjutnya dengan bola mata penuh.

"Betul, bu. Kok bisa tahu?" aku mengerjap.

"Ah, kebetulan aja. Suami saya temenan sama papa kamu" sahut sayu Diah seraya tersenyum kecil.

Wah, walau telah menginjak usia empat puluh ke atas, tapi wajah Bu Diah masih seperti kepala dua.

Hanya sedikit sekali terlihat kerutan di wajahnya, yang lainnya masih kencang. Padahal ia kelahiran Bandung, tapi tidak terlihat seperti orang Indonesia.

"Dari kapan Kiran kerja disini, bu?" tanya Bu Diah pada pemilik panti ini, kami bertiga mengayun kaki menyusuri lorong panti asuhan.

"Kiran udah kaya anak perempuan saya sendiri, dia ngajar udah dua tahun, Bu."

"Oh i see.. Apa motivasi kamu sampai memilih jalan menjadi relawan, Kiran?" Bu Diah beralih padaku.

"Enggak ada motivasi khusus sih, Kiran suka aja ngajarin anak-anak.."

"Kenapa gak jadi guru di SD biasa?"

"Karena anak-anak panti asuhan lebih perlu seorang guru. Jarang ada orang yang mau mengajar dengan gaji kecil, Bu." jawabku terus terang.

Married With BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang