16. Mimpi Jadi Nyata?

3.2K 527 296
                                    

Wajah laki-laki itu mengerut ketika cahaya berusaha memasuki sela-sela bulu matanya. Tangan maskulinnya sampai terangkat untuk menutupi wajah karena rasa kantuk yang belum hilang.

Gavin membuka mata perlahan sembari meregangkan seluruh tubuhnya yang terasa lemas akibat pengaruh alkohol kemarin.

"Gue dimana?" ujar laki-laki itu serak sembari matanya berkeliling.

"Udah bangun? Cepetan mandi, abis itu balik hotel." suruh Kiran yang sedang membuka gorden coklat besar cottage.

Kepala Gavin melongok ke seluruh sisi lagi, "Lah, ini di cottage?!" monolognya heboh, dirinya masih dalam proses mengumpulkan nyawa.

Kiran berdehem, "Kamu minum lagi, Gav. Lupa?" jengkelnya.

Gavin menyibak rambut gondrongnya untuk meluapkan rasa malu. Benaknya berpikir mengapa  gadis ini selalu muncul setelah bangun dari ambruk. Berapa banyak yang ia katakan saat tidak sadar? Dia tidak mengatakan rahasia keluarga, kan? Batinnya.

"Ngapain bengong? Ayo, Clara di hotel sendirian!" Kiran menghamburkan khayalan laki-laki itu.

"Gue ada ngomong apa kemaren?" tanya Gavin dengan intonasi datar.

Gadis itu terdiam sejenak, lalu mengela nafas pendek.

"Tentang om Edwin..." Kiran menggantung kata.

"Sebenernya om Edwin kenapa, Gav?" sambungnya hati-hati, kemudian beralih duduk di pinggir kasur.

"Lo gak perlu tau, ini urusan dan privasi keluarga gue." Gavin membuang wajah, laki-laki itu beralih turun dari sisi kasur yang berlawanan.

Kiran menegakkan kaki, menghampiri suaminya yang sedang memakai hoodienya.

"Gav, sekarang keluargamu juga keluargaku!" hardiknya, tak habis pikir.

"Songong banget, lo?" sarkas Gavin.

".. Jangan lupa sama batesan yang pernah gue buat, Ra" cetus laki-laki itu.

"Stop bahas keluarga Clara, gue gak mau orang lain ngusik adik gue." tambah Gavin, manik hitamnya menatap serius.

Rasanya ingin sekali membantah sekaligus mengeluarkan seluruh kekesalannya, tapi Kiran menunda niat dengan menghembuskan udara berat. Sebab ia tahu bahwa tidak akan ada habisnya jika harus berdebat dengan laki-laki itu.

Tut...

Ponsel yang terselip di kantong celana Kiran bergetar, gadis itu meraih benda tipis itu lalu mengangkat telfonnya. Sambil berjalan menjauh dari Gavin. 

Laki-laki itu sontak mengerutkan kening, matanya menatap curiga.

"Halo?" sapa Kiran lembut.

"Siapa?" kepo Gavin, mengangkat alis.

"Dio," sahut gadis dengan sweater rajut putih itu dengan asal.

Tak heran bahwa dirinya masih kesal pada Gavin yang tak sudi ketika berbagi masalah keluarga. 

"Ngapain tuh cowo nelfon lagi?" sosor Gavin, memelotot.

"Kangen, mungkin?" ceplos Kiran, mulai menikmati permainan balasannya.

"Hh, kangen? Sama bini orang?" keki laki-laki itu.

Sembari menyilangkan lengan, Gavin mengayun kaki cepat mengejar Kiran yang berlari ke balkon cottage.

"Hai, Yo, gimana kabarmu?" Kiran menyelop sandal.

Gadis itu berjalan menapak pasir putih pantai. Sedangkan Gavin mengekorinya tanpa alas kaki, matanya menyipit.

Married With BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang