Tidak ada seorang pun yang bisa menghindar dari kematian yang sudah ditakdirkan Tuhan. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Kematian adalah sebuah kepastian yang pasti menghampiri setiap manusia. Dunia ini hanya tempat persinggahan untuk menuju rumah di akhirat.
Hidup tidak dapat diprediksi dan masa depan tidak diketahui. Apa pun bisa terjadi besok, dan hidup serta waktu, tidak berhenti untuk siapa pun.
Anzalia hanya bisa termenung menatap gundukan tanah basah didepannya. Binar matanya kosong, tubuhnya mematung seperti tidak ada jiwa didalam dirinya.
Sentuhan di tangan Anzalia baru menyadarkannya, ia melirik sekilas tangan besar yang sedang menggenggamnya. Anzalia tahu tangan itu milik Sean.
"Ayo kita pulang." Anzalia mengangguk, lalu Sean menuntun gadis-nya pergi dari pemakaman, diikuti Aditya dibelakangnya.
Sepanjang jalan menuju rumah Anzalia, gadis itu hanya menatap kosong lalu lalang dijalanan. Sesekali Sean mengusap tangan gadis-nya, memberikan dukungan serta ketenangan. Sementara Aditya yang duduk dibelakang hanya terdiam, sama seperti sang adik.
Mobil milik Sean berhenti di pelataran rumah Anzalia, mereka bertiga keluar dari mobil lalu memasuki rumah yang terasa kosong.
Anzalia menghela napas pelan, kemudian duduk di kursi ruang tamu. Matanya menatap kosong udara didepan.
"Jangan melamun terus." ucap Aditya lalu membawa adiknya kedalam pelukan eratnya. Anzalia langsung menangis begitu kakak nya membisikkan kata-kata menenangkan.
Dari seberang kursi, Sean memperhatikan gadis-nya menangis. Hatinya terasa sakit, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk saat ini ia hanya bisa menatap kakak beradik didepannya.
"Udah ya, jangan nangis terus kasihan Ayah disana."
Anzalia menghentikan tangisnya, melepas pelukan sang kakak lalu berkata lirih dengan suaranya yang serak. "Selama ini kita nunggu Ayah bangun, kak...tapi kenyataannya sekarang Ayah udah nggak ada."
Ibu jari Aditya mengusap jejak air mata di pipi adiknya, "Ini semua adalah takdir. Kita cuma bisa ikhlasin semuanya, takdir Ayah sudah digariskan seperti ini, dek."
Wajah pucat Anzalia terlihat mendung, hatinya seperti tertancap ribuan belati saat pertama kali mendengar kabar buruk tentang sang Ayah. Anzalia masih berharap banyak Ayahnya akan tersadar dari koma panjangnya. Setiap hari doa selalu ia panjatkan agar sang Ayah bisa melihat dirinya dan Aditya sudah dewasa.
Ia begitu sabar menanti kehadiran Ayahnya ditengah-tengah mereka berdua. Tetapi hari ini, semua angan-angannya hancur lebur. Orang tua satu-satunya pergi meninggalkan dirinya dan kakaknya, menyusul sang Ibu yang telah dulu pergi.
"Ayah udah tenang sama Ibu disana. Ingat. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan, karena itu semua gak bakal merubah kenyataan. Sekarang, fokus sama diri kamu, jangan sampai adik kakak ini nangis terus, ya?"
Anzalia mengangguk pelan, menghembuskan napasnya pelan berusaha menenangkan dirinya. Jujur saja, rasa bersalah perlahan menggerogoti hatinya. Selama ini ia hanya diam dirumah bersama Sean dan tidak menengok Ayahnya sejak kecelakaannya waktu itu.
Meninggalkan sang Ayah bersama orang kepercayaan Aditya, walaupun sesekali jika Aditya berkunjung, kakakknya itu akan mengabari dirinya lewat Sean. Ia masih merasa bersalah.
Seharusnya Anzalia bisa merawat Ayahnya, dan bukannya orang lain. Seharusnya Anzalia berada disisi Ayahnya setiap saat. Seharusnya ia berada di detik-detik akhir hayat Ayahnya.
Penyesalan itu terus berputar seperti kaset rusak didalam kepalanya. Kedua tangannya memegang kepala, merasakan pusing yang menderanya. "Kamu istirahat dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Sean Obsession
ChickLit[Sebuah cerita klasik] Obsesi seorang Sean terhadap gadis kecil 18 tahun yang lalu membuatnya menjadi pria yang mengerikan. Jamin Uinseann Herwit, pria dewasa yang tergila-gila dengan Anzalia. Gadis kecil yang sudah mengacaukan pikiran Sean. "And i'...