Anzalia berjalan cepat menuju balkon kamar. Ia melemparkan begitu saja tubuhnya di swing bed. Meredam isak tangis hebatnya di bantal kecil, dan mencengkeram kedua ujung bantal tersebut.
Napasnya tersendat-sendat namun ia tidak bisa berhenti untuk menangis. Anzalia sangat marah, tapi lagi-lagi ia tidak bisa berbuat apapun.
Betapa bodohnya dirinya ini.
Hatinya perlahan mulai tersentuh akan perhatian yang diberikan Sean kepadanya. Dan setelah itu perasaannya mulai tercabik-cabik kembali akibat ulah Sean juga.
Sean dengan mudahnya mengombang-ambing perasaannya. Mungkin bagi sebagian orang hal-hal seperti sentuhan fisik sudah menjadi hal yang biasa. Tapi tidak dengan Anzalia.
Kenapa dirinya begitu lemah? Ia sudah mencoba, dan kenapa selalu gagal?
Kepalanya terasa pusing dan berat seperti dihantam batu besar. Tubuhnya terasa panas, padahal malam ini udara terasa sangat dingin dari biasanya.
Tanpa sadar Anzalia terlelap dan masih meninggalkan suara sesenggukan.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Sean baru saja masuk ke kamarnya dan tidak menemukan Anzalia. Ia hanya melihat bocah itu yang tertidur di boks bayinya.
Mengapa bocah itu tidur sekamar dengannya? Sial. Jika Anzalia yang tidak memintanya maka ia tidak peduli apakah bocah itu tidur diluar atau dimanapun.
Kepalanya celingukan dan tatapannya tertuju pada pintu balkon kamar yang sedikit terbuka. Sean menghela napasnya, kemudian mendekati gadis-nya yang tidur tengkurap.
Ia merasa sedikit bersalah. Iya, sedikit. Dan Sean sama sekali tidak menyesal atas perbuatannya tadi. Gadis-nya terlihat sangat cantik dibawah pantulan sinar bulan. Sean tidak bisa menahan untuk tidak menyentuh Anzalia.
"Saat seperti ini saja kamu berhasil membuat kepalaku pusing, baby."
Jari telunjuk Sean menyusuri setiap inci wajah Anzalia yang menggemaskan. Sungguh, dirinya tidak akan bosan hanya dengan melihat wajah Anzalia.
Setelah mengompres dahi Anzalia dan menyelimutinya hingga sebatas leher, Sean duduk termenung di sofa sambil memperhatikan gadis-nya tertidur.
Kata-kata Anzalia pagi tadi sedikit mengganggu pikirannya. Menikah? Itu bahkan tidak terpikirkan sama sekali olehnya.
Pria itu mengetatkan rahangnya saat mengetahui Anzalia mencari pekerjaan. Hei, ia bahkan bisa menghidupi gadis-nya sepanjang hidup tanpa kesusahan dan kekurangan sedikitpun. Mengapa Anzalia bersikukuh untuk mencari pekerjaan.
Ia sengaja memberhentikan Anzalia dari pekerjaannya supaya dirinya bisa melihat gadis-nya setiap saat. Bertemu dirumah dan di kantor itu terasa sangat berbeda.
"Aku harus bagaimana, Anzalia."
Kepalanya terasa sangat berat memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Sean juga tidak akan melepaskan atau membiarkan gadis-nya pergi dari kehidupannya setelah penantian yang sangat lama.
Pria itu sudah sejauh ini, melepaskan Anzalia sama saja dengan membunuh dirinya sendiri.
Oh ia tak akan membiarkan Anzalia jauh darinya barang sejengkal pun. Anzalia adalah hidup Sean. Bernapas tidak dalam satu tempat yang sama dengan gadis-nya sangat menyiksa bagi Sean.
Mata indahnya mengerjab pelan, menyesuaikan cahaya yang menusuk matanya. Anzalia duduk dan memegangi kepalnya yang sedikit menyisakan pusing akibat semalam.
Entah berapa lama ia menangis tadi malam, Anzalia tidak ingat. Kemudian ia melangkah pelan menuju boks Kaindra.
Rasanya sudah lama ia tidak menyapa bayi kecil itu. Satu hari? Satu minggu? Ah tidak-tidak, itu terlalu berlebihan. Anzalia menertawakan dirinya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Sean Obsession
ChickLit[Sebuah cerita klasik] Obsesi seorang Sean terhadap gadis kecil 18 tahun yang lalu membuatnya menjadi pria yang mengerikan. Jamin Uinseann Herwit, pria dewasa yang tergila-gila dengan Anzalia. Gadis kecil yang sudah mengacaukan pikiran Sean. "And i'...