"Part 32"

898 96 10
                                    

Seorang pemuda dengan almamater kuning nampak terdiam di depan kampusnya, senyumnya mengembang melihat kedatangan pemuda lain yang ia tunggu sedari tadi.

"Darimana aja baru nyampe?" Ujarnya, namun keningnya mengerut bingung saat orang yang ditunggu nya itu malah menatap tajam dengan tangan terkepal erat. Hingga tiba-tiba....

Bugh!


Satu pukulan telak mengenai rahang dan membuat tubuh pendeknya itu tersungkur di tanah.

"Bodoh!" Suara berat milik sahabatnya terdengar keras.

"Badoh kamu Jim! Apa kamu gak bisa ngambil contoh dari yang aku alamin hah?! Kenapa? Kenapa kamu ngulang kesalahan yang aku lakuin dulu Jim? Kita emang soulmate, tapi kelakuan brengsek aku jangan kamu ikutin!."

Pemuda yang kini terduduk di tanah itu dapat melihat tatapan marah serta kecewa dari sahabatnya yang tengah berdiri menjulang dihadapannya dengan berbagai umpatan.

"...Jangan lari bodoh, Rose sama anak kalian butuh kamu sebagai ayahnya. Cukup, sekarang kamu balik dan akuin semua kesalahan kamu.  Rose butuh tanggung jawab kamu, cepet selagi kamu masih dikasih kesempatan, jangan sampai nyesel kayak aku."

Deg!

Jimin terperanjat, matanya membelalak lebar. Namun denyutan di kepalanya berhasil membuat pemuda 23 tahun itu kembali merebahkan diri di tempat tidur kosan milik salah satu temannya.

Keringat membasahi kening, serta detak jantungnya yang berdebar begitu cepat saat ia sadar bahwa apa yang dialaminya adalah mimpi. Mimpi yang begitu nyata, dan disana sahabatnya yang sudah satu tahun tiada nampak tidak berubah. Apa sebenarnya arti dari mimpi itu?

Jimin melirik ke arah jam dinding, disana menunjukan pukul 2 pagi. Dan ia sadar hari ini tepat satu bulan ia kabur setelah kekasihnya, Rose, berkata jika ia akan menjadi seorang ayah. Ia mengusak surainya kasar setelah mendudukan diri, pikirannya kacau saat rasa bersalah dan takut kembali menyerangnya.

Jujur, fakta yang di ucapkan Rose saat itu berhasil membuat mentalnya terguncang. Bagaimana bisa ia menjadi seorang ayah, disaat ia bahkan baru 23 tahun dengan skripsi yang belum tuntas, dan yang paling penting, ia belum berpenghasilan. Biaya hidupnya masih ditanggung oleh orang tuanya di kampung yang bekerja sebagai petani. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ekpresi kedua orang tuanya ketika tau bahwa anak tunggalnya menghamili seorang gadis. Sungguh Jimin tidak siap dalam segi apapun, sehingga ia memilih lari dari masalah.

Tapi, mimpi tadi berhasil membuat nya sedikit sadar. Ia jadi teringat dengan keadaan Rose dan calon bayinya yang ia tinggalkan begitu saja, apa mereka baik-baik saja atau sebaliknya?

Ditengah kegundahan itu, Jimin mengambil ponselnya yang sudah lama tidak diaktifkan. Ia melihat begitu banyak pesan panggilan dan notif dari temannya, teman Rose, kedua orang tuanya serta kekasihnya itu sendiri. Tangannya bergetar saat tak sengaja mengklik pesan panjang yang dikirim Rose 5 hari yang lalu.





"My Lovely Roses❤🌹"


Kamu mungkin gak bakal baca pesan ini. Tapi aku tetep bakal bilang.
Jim, aku tau kamu syok dan gak siap jadi ayah, sama aku juga gitu, belum siap jadi ibu.
Tapi mau gimana lagi, baby udah terlanjur tumbuh di dalam perut aku.
Aku harap kamu gak nyuruh aku buat ngebunuh baby, karena dia gak salah.

Kalo emang kamu gak mau tanggung jawab, gak papa. Aku bakal besarin dia sendiri, sebisaku.
Tapi kalo suatu saat baby nanyain siapa ayahnya, aku harus jawab apa Jim?
Boleh gak aku pinjem nama kamu?







The Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang