“MAKSUD LO APA JEBAK SATRIA BUAT FIGHT SAMA LO DAN NYELAMATIN CEWEK CUPU ITU? GUE KASIH DUIT SAMA LO BUAT NYINGKIRIN CEWEK ITU. LO NGERTI GA SIH!!!”.
Lea tiba di sebuah gudang kosong yang jauh dari pemukiman warga yang di jadikan sebagai markas genk bruiser. Ia masuk dengan mendobrak paksa pintu utama sambil berjalan dengan membawa sebuah amarah pada ramon.
Ramon tersenyum licik menyambut kedatangan lea. Ia duduk di sebuah sofa dengan satu kaki di tumpangkan pada satu kakinya lagi. Sambil menghisap satu puntung rokok yang kemudian ia sentil karna sudah hampir habis.
“welcome baby”. Ramon merentangkan kedua tangannya sambil mendekat pada lea.
Lea menepis tangan ramon lalu menunjuk tepat di depan wajahnya. “LO BISA DI ANDELIN GA SIH!!”.
Ramon mengusap wajah lea dengan satu jari telunjuknya kemudian memegang dagu lea namun dapat di tepis oleh gadis itu. “kamu pikir aku bakalan nyingkirin ceweknya saingan aku? Justru kalau satria punya cewek lagi itu bagus dong buat kita, kamu bisa jadi milik aku lagi”.
Lea mendecih. “NYESEL GUE MINTA BANTUAN LO! HARUSNYA DARI AWAL GUE SINGKIRIN CEWEK ITU PAKE TANGAN GUE SENDIRI”.
Kemudian lea kembali pergi meninggalkan tempat itu dengan masih dalam kondisi marah. Dan ramon masih berdiri di tempat yang sama sambil menatap kepergian lea dengan senyuman liciknya.
“Mon, kenapa ga di kejar?”. Ucap zaky.
“biarin aja. Cewek itu ga perlu di kejar. Lama-lama juga dia sadar kalo gue layak buat dia, bukan si brengsek satria itu. Dan nantinya, dia yang bakal balik lagi sendiri ke pelukan gue”.
***
“BAJINGAN!!!. NYESEL GUE MINTA BANTUAN RAMON BUAT NYINGKIRIN SI CUPU ITU!!”.
Lea memukul setir mobil dengan kepalan tangannya. Amarahnya kini semakin menjadi-jadi. Karna seharusnya ramon melaksanakan perintahnya untuk melenyapkan kiara agar saingannya untuk mendapatkan hati satria bisa hilang. Namun ia lupa bahwa hal itu tidak akan ramon lakukan karna ramon sangat mencintainya. Jadi, untuk apa ramon melenyapkan gadis yang lea bilang sebagai kekasih barunya satria?.
Lea menyalakan mesin mobilnya kemudian segera pergi dari tempat itu. Ia terus saja melajukan kendaraannya dengan tanpa arah tujuan kemana ia akan pergi.
Sepanjang perjalanan ia terus saja memaki setiap barang yang ada di sekitarnya. Seolah-olah itu adalah sebuah kutukan buruk yang berada di dekatnya.
Ketika ia sampai di sebuah lampu merah, ia menghentikan kendaraannya dan menunggu sampai lampu lalu lintas itu kembali menjadi warna hijau agar ia bisa melanjutkan perjalanannya. Namun ketika ia menatap ke arah objek sekitarnya , ia melihat ada sebuah mobil fortuner berwarna hitam pekat yang berada tepat di samping mobilnya. Dilihatnya, di dalam mobil itu ada seorang pria yang cukup ia kenali. Ya, itu Haris widiantoro. Papanya satria.
Namun betapa ia semakin terkejut karna ternyata pak Haris tak sendirian di dalam mobil itu. Dan seseorang yang berada di samping Haris ternyata Vanya. Maminya lea.
“om haris? Sama mami? Mereka ngapain jalan berdua?”.
Namun karna lea hilang konsentrasinya, sehingga ketika lampu lalu lintas itu berubah menjadi warna hijau, lea pun tak menyadarinya. Sampai sebuah mobil yang berada di belakang lea menyalakan klakson berkali-kali hingga membuat lea kembali tersadar dan mulai melajukan kembali kendaraannya.
Tiba-tiba saja lea berinisiatif untuk mengikuti kemana mobil milik papa satria itu pergi. Beruntung mereka tidak merasa curiga karna lea lihat mereka sedang asyik mengobrol sambil melempar candaan di dalam mobil itu.
“kok mami sama papanya satria akrab banget sih. Bukannya om haris saingan bisnisnya papi dulu? Dan sekarang mami nerusin bisnis papi ko mereka malah jadi deket? Ini aneh. Gue harus ikuti kemana mereka pergi”.
Mobil itu berhenti di sebuah restoran cepat saji yang kemudian masuk ke dalam dan memarkir di sana. Lea ikut masuk namun ia parkirkan mobilnya agak jauh dari tempat Mobil haris di parkirkan. Kemudian ia mengambil sebuah hoodie serta kacamata berwarna hitam yang kemudian ia kenakan untuk penyamaran agar pergerakannya tidak di curiga oleh vanya maupun haris.
Vanya dan haris memilih sebuah meja makan yang posisinya berada paling dalam, jauh dari pintu masuk. Sayangnya meja makan sekitar tempat vanya sudah penuh di tempati oleh beberapa orang, sehingga lea hanya bisa duduk di sebuah meja makan yang agak jauh dari vanya dengan berjarak sekitar 5 meter.
Tentu saja hal tersebut membuat lea sedikit kesusahan untuk mendengar setiap apa yang mereka bicarakan karna jarak yang cukup jauh dan terhalang oleh percakapan beberapa pengunjung sekitar yang menjadikan orbolan antara vanya dan haris tidak bisa lea dengar sama sekali.
“Sial!!. Mereka lagi ngomongin apa lagi. Mana ga kedengeran”.
Lea menutup wajahnya menggunakan buku menu agar vanya tidak dapat melihatnya. Sesekali buku itu ia turunkan agar ia bisa mengintip apa saja yang di lakukan vanya dengan haris.
Di lihatnya, vanya dan haris terus saja saling melempar candaan hingga beberapa kali haris meletakkan tangannya pada tangan vanya. Tentu saja hal itu semakin membuat lea semakin penasaran dan ia ingin segera memastikan jawaban tas kedekatan kedua orang tua itu.
Lea pun bangkit dan berjalan mendekat ke arah meja makan vanya dan haris. Kemudian ia lepaskan kacamata dan penutup kepala pada hoodie- Nya.
“MAMI NGAPAIN SAMA PAPANYA SATRIA DI SINI?”.
Suara gertakkan lea itu tentu saja membuat vanya dan haris terkejut hingga haris melepaskan tangannya dari vanya. Dan karna itu pula membuat seisi pengunjung restoran itu menoleh ke arah lea karna gertakkannya cukup membuat mereka ikut terkejut.
Vanya gugup. Ia membulatkan matanya sambil meraih tangan lea. “kamu ngapain disini?” ucapnya berbisik.
“aku? Harusnya aku yang nanya sama mami. Ngapain Mami di sini sama om haris?”.
“Kamu duduk dulu di sini. Jangan teriak kayak gitu. Malu”. Vanya menarik tangan lea agar ikut duduk di bangku meja makannya.
“Mami sama om haris lagi meeting. Kita Cuma lagi bahas soal bisnis ko”.
“sejak kapan perusahaan kita kerja sama sama perusahaan papanya satria? Bukannya om haris saingan bisnis papa?”.
“ya justru itu. Kita ga mungkin dong musuhan terus. Saingan terus. Kita coba untuk kerja sama. Siapa tau bisnis kita sama sama semakin maju kan”. Ucap vanya dengan senyuman terpaksa.
“Mami yakin?” lea menatap curiga kedua sejoli itu.
“iya sayang.. kapan sih mami bohong”.
“terus kenapa tadi pake pegang-pegangan tangan segala?”.
“om tadi Cuma reflek aja ko lea, om minta maaf ya”. Haris menyahuti.
“oh gitu. Oh iya om, kemarin satria kemana? 2 minggu ga sekolah loh. Sampe tadi dia di kasi tugas sama guru matematika buat ngerjain beberapa soal ulangan yang tertinggal”.
Haris tampak cemas. Ia mana tahu soal anaknya. Karna selama satria tidak sekolah, selama itu pula ia tak pulang ke rumah.
“Anak itu memang susah di atur. Dia pergi dari rumah sesuka hati dia”. Jawabnya ngasal.
“lea mengernyitkan keningnya merasa tak percaya. “masa sih om. Aku kenal satria lama loh. Setau aku senakal-nakalnya satria dia ga sampe bolos sekolah selama itu tanpa alasan”.
“ya mungkin dia lagi ada masalah sama teman-temannya. Atau sama musuhnya dia kan hobi berantem”.
“emang iya ya om? Masalah apa ya kira-kira?”.
Haris diam mematung. Ia kehilangan jawaban atas setiap pertanyaan dari lea mengenai putranya. Karna memang akhir-akhir ini ia sudah meninggalkan keluarganya.
Vanya memahami gelagat haris. Kemudian ia mencari topik pembicaraan lain sebelum lea lebih jauh lagi bertanya mengenai satria pada haris.
“Oh iya sayang, kamu belum pulang ke rumah? Pasti belum makan siang kan”.
“Aku lagi ga laper mi”.
“Kenapa? Kamu sakit?”.
“engga. Lagi ga mood aja”.
“Yaudah kamu pulang aja sana istirahat, biar pas bangun mood kamu bagus lagi”.
“tapi malam ini mami pulang kan? Udah 2 malam loh mami ga tidur di rumah”.
“Iya sayang. Malam ini mami pasti pulang ko. Janji”. Vanya mengacungkan jari kelingkingnya di hadapan lea.
“yaudah aku pulang. Bye”.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTITESIS [END]
Teen Fictionmenceritakan seorang gadis yang pergi merantau ke kota bersama ibunya agar lebih sering mengunjungi makam ayahnya yang telah meninggal, namun di sekolah barunya ia bertemu dengan seorang pria berandalan yang hampir setiap harinya membuat keributan b...